top of page
  • Writer's pictureWOW Ministry

AIR DALAM IBADAH: EKOLOGI BAPTISAN

BENJAMIN M. STEWART

Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)



Sejarah mencatat, ketika manusia mulai berdoa, mereka melakukan doa tersebut di tempat-tempat yang berair. Air sering kali membawa kita pada kekaguman, sukacita, kegentaran atau kedamaian, dan sering kali, air – baik dalam kuasa yang luar biasa dari ombak lautan, mata air dengan air dingin yang memancar, sebuah danau kecil yang tenang, suara dari aliran air memecah batu pegunungan, sungai yang dalam dan jernih dengan makhluk-makhluk membuat riak di permukaannya, air terjun yang dahsyat, hujan yang menyegarkan tanah kering, hamparan laut yang tiada batas, maupun mata air panas yang memancar secara misterius dari dalam bumi – menggerakkan kita untuk berdoa.


Warisan budaya Kristiani berdoa di tepi aliran air adalah praktik yang bahkan lebih tua dari kekristenan, hal ini sangat dipengaruhi oleh warisan budaya Yahudi. Salah satu doa di tepi aliran air yang sangat berharga tercatat di Mazmur 104, di mana pemazmur menatap jauh pada pemandangan yang disegarkan oleh air, dipenuhi dengan berbagai macam makhluk dan kehidupan, dan mengucap syukur kepada Allah atas berkat yang berlimpah dari-Nya kepada manusia dan seluruh bumi, yang digambarkan seperti air yang mengalir turun:


“Engkau, ya Allah, yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air,

yang menjadikan awan-awan sebagai kendaraan-Mu,

yang bergerak di atas sayap angin…

Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah,

mengalir di antara gunung-gunung,

memberi minum segala binatang di padang,

memuaskan haus keledai-keledai hutan;

di dekatnya diam burung-burung di udara,

bersiul dari antara daun-daunan.

Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar loteng-Mu,

bumi kenyang dari buah pekerjaan-Mu.”

(Mazmur 104: 3, 10-13)


Kita mungkin bertanya-tanya setelah membaca Mazmur ini: Apa yang mengalir turun dari gunung-gunung dan langit-langit dengan berkat yang luar biasa? Apa yang memberi kehidupan kepada bermacam-macam makhluk yang disebutkan di dalam Mazmur ini? Apakah air? Apakah Allah? Jawaban yang indah adalah, tentu saja, keduanya dengan bersama-sama.


Sesuatu yang penting sedang terjadi di dalam Mazmur seperti ini – sesuatu yang tidak selalu terjadi dalam doa-doa kita. Sebuah perbandingan akan menolong kita memahami hal ini. Ketika kita menyanyikan Mazmur 23, “Tuhan adalah gembalaku,” di dalam ibadah, kita mengucap syukur karena Allah bertindak seperti seorang gembala yang baik. Saat kita juga mengucap syukur kepada Allah untuk gembala di kehidupan nyata dan domba berbulu lebat yang nyata juga, Mazmur 23 tidak sedang bicara tentang pekerja agrikultur atau tentang ternak. Mazmur 104, di sisi lain, sesungguhnya berfokus pada pengucapan syukur bahwa Allah bertindak seperti air yang menyegarkan, mengalir melalui dunia kita; tetapi, Mazmur ini dalam waktu yang sama berfokus pada pengucapan syukur kepada Allah atas air yang sesungguhnya, yang mengalir ribuan tahun lalu di tempat pemazmur tinggal, dan, mungkin lebih lagi, berfokus pada pengucapan syukur atas air yang mengalir di sekitar kita hari ini, menyegarkan tanah-tanah kita dan semua makhluk, ketika kita berdoa dengan Mazmur ini.


Banyak dari kita yang mengenal pemandangan seperti di Mazmur 104, dan kita sendiri tergerak untuk menaikkan doa ucapan syukur untuk panorama kehidupan yang luar biasa, yang di dalamnya bermacam-macam makhluk berkembang biak dan tanah menghasilkan panen berlimpah, semuanya diairi oleh hujan yang menyegarkan dan aliran air yang tak berhenti. Mazmur 104 menawarkan sebuah contoh cara berdoa di tepi aliran air, dan di dalam doa kita tidak meninggalkan air sebagai simbol yang mudah terlupakan. Malahan doa yang dinaikkan di tepi aliran air menyadarkan kita untuk memberi perhatian yang tak putus pada ekologi air yang mengagumkan – yang menolong kita menghargai berkat fisik yang sangat nyata yang dibawa oleh air untuk bumi, dan juga karena kita memaknai aliran air yang membasahi bumi mencerminkan gambaran tentang limpahan berkat Allah secara mendalam dan tentunya berdasar pada kitab suci.


Aliran air tempat di mana pemazmur berdoa sebenarnya bukanlah sebuah tempat yang mudah dituju. Pemazmur membayangkan, paling tidak dalam hatinya, sebuah curahan air yang deras – berasal dari hujan surgawi dan dari sumber air di gunung, yang mengalir turun lewat sungai yang terletak di antara bukit-bukit, menuju lembah-lembah yang subur dan bermuara ke lautan lepas. Bagaimana mungkin sebuah visi yang agung seperti dalam Mazmur 104 dapat ditunjukkan secara sekilas dalam ibadah baptisan dan juga dalam ruang-ruang ibadah kita?


Dibaptis ke dalam Kristus selalu menjadi gerbang masuk ke dalam air (sama seperti kematian di dalam Kristus, kegenapan dari baptisan kita, akan menjadi gerbang ke dalam dunia, ke kedalaman, di mana kita di waktu yang sama hidup bersama Kristus dan hidup di bumi). Dan, sementara teologi baptisan banyak menyentuh dan menjelaskan tentang etika ekologis dan eko-teologi, saya akan berfokus pada ritus baptisan itu sendiri dan kaitannya dengan realita ekologis. Dalam air yang seperti apa kita dibaptis? Bagaimana rupa, rasa, dan suara dari tempat air itu? Doa seperti apa yang digugah oleh tempat tersebut?


Kitab-kitab Injil mencatat baptisan terjadi di tepi padang gurun. Banyak orang pergi dari tempat-tempat padat penduduk menuju padang gurun di mana Yohanes Pembaptis tinggal, yang melakukan baptisan di Sungai Yordan, dengan suaranya yang lantang berteriak di padang gurun, di atas permukaan air. Yesus sendiri dibaptis di sana, tepat sebelum Dia mengasingkan diri masuk lebih jauh ke padang gurun.


Seiring berjalannya waktu, kebanyakan umat Kristiani melakukan baptisan di dalam ruangan. Namun, walaupun kebanyakan melakukan hal itu, ada sebagian kecil umat Kristiani terus menghargai air baptisan di alam bebas. Salah satu dokumen dari gereja mula-mula, dikenal dengan nama Didakhe, memberikan perintah singkat, tapi spesifik, tentang praktik baptisan dan tentang air seperti apa yang dianjurkan untuk digunakan:


“Mengenai baptisan, baptislah dengan cara seperti ini: setelah apa-apa yang kami katakan terdahulu, baptislah dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dengan air yang mengalir. Apabila kamu tidak mendapatkan air yang mengalir, baptislah dengan air yang lain. Bila memungkinkan, dengan air dingin. Jika tidak, dengan air panas. Jika keduanya tidak kamu dapati, maka kucurkanlah air ke kepala tiga kali dengan menyebut nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus.”


Didakhe pertama-tama menyebutkan air yang mengalir dari sumber yang “hidup” (teks Inggris: “living water”) – “hidup” dalam hal ini berarti mengalir, seperti sungai atau anak sungai. Dan sepertinya Didakhe berasumsi bahwa orang yang dibaptis akan diselamkan ke dalam air tiga kali. Namun, jika tidak ada cukup air mengalir dalam satu tempat, satu penampungan air dingin bisa digunakan. Air dingin dalam hal ini kemungkinan besar baru diambil dari air yang mengalir, yang bersumber dari bumi (dan, untuk pertimbangan praktis, kemungkinan besar lebih jernih dan tidak mengandung banyak bakteri). Jika tidak ada air dingin tersedia, air yang lebih hangat (kita bisa menganggapnya “suhu ruangan”) dapat digunakan untuk melakukan baptisan. Dan jika tidak ada cukup air untuk melakukan baptisan selam, maka, demikian nasihat Didakhe, baptisan dapat dilakukan dengan mengucurkan air di kepala orang yang dibaptis tiga kali.


Dalam nasihat yang cukup spesifik ini, ada kebenaran yang masih berlaku untuk kita hari ini. Baptisan mungkin dilakukan dengan bentuk yang berbeda-beda dan praktik yang berbeda-beda juga. Namun, bentuk dan rupa air yang digunakan untuk baptisan, dan cara melakukan baptisan, sangatlah penting.


Bagi kebanyakan dari kita, ada sebuah kesenjangan antara baptisan Yohanes Pembaptis yang dilakukan setelah perjalanan ziarah ke padang gurun dan perhatian khusus pada karakter “air mengalir” yang dicatat dalam Didakhe, juga kesenjangan antara kolam baptisan yang kecil dan terselubung – mungkin juga kering dan tertutup – di kebanyakan ruang ibadah kita.


Berita sukanya, hal ini perlahan berubah. Banyak gereja, khususnya dalam 50 tahun terakhir sebagai bagian dari gerakan pembaruan liturgi, telah memperluas dan memperkuat tempat air untuk baptisan di ruang ibadah mereka masing-masing. Jemaat rindu untuk mengarungi kedalaman air yang secara ekologis dan teologis mengalir dalam Mazmur 104, baptisan Yohanes Pembaptis, dan komunitas Didakhe; mereka rindu melihat bagaimana kolam baptisan mereka juga dapat merengkuh aliran air hidup yang berasal dari bumi.


Kita dapat merenungkan dimensi eko-teologis dari tempat air untuk baptisan dalam empat karakteristik berikut: tempat kehidupan, sebuah oasis; air yang hidup, yang mengalir; wadah yang menampung air yang dalam; dan tempat yang menyambut karakter air yang belum dijinakkan atau bahkan liar.


Air kehidupan: oasis. Setiap makhluk hidup pada dasarnya bergantung pada air. Di tempat-tempat yang kering, munculnya air bersih dalam wujud sungai atau anak sungai di hamparan tersebut akan secara khusus menciptakan sebuah area dengan kehidupan yang berkembang biak dan beragam secara biologis, mungkin saja mengubah daerah itu secara dramatis bila dibandingkan dengan tempat sekitarnya yang kering, melewati perubahan dari musim dingin ke musim semi dan dari musim panas ke musim gugur. Tempat-tempat seperti ini menyampaikan sebuah pesan yang jelas bahwa air memancarkan kehidupan yang berkelimpahan. Beberapa gereja merayakan dan memberi perhatian khusus pada karakter ekologis air yang memberi kehidupan ini dengan menghias kolam baptisan mereka sebagai oasis. Tumbuhan-tumbuhan dalam pot dan bunga-bunga, mungkin juga bahkan pohon kecil ditempatkan di sekitar kolam baptisan, menyampaikan makna bahwa kolam baptisan adalan oasis kehidupan – baptisan memberi hidup baru bagi orang-orang Kristen sama seperti air memberi kehidupan bagi semua makhluk hidup.


Kolam baptisan juga dapat menunjukkan perubahan musim yang merefleksikan siklus musim di bumi yang berjalan bersamaan dengan tahun gerejawi. Di masa Pra-Paskah, area kolam baptisan dapat dihias dengan beberapa batu kali dan mungkin beberapa dahan kering, tanaman-tanaman hidup dapat disingkirkan sementara dari area baptisan. Pada Paskah, area baptisan dihias dengan berbagai kehidupan, termasuk bunga Lili dan berbagai macam bunga lain, mengingatkan akan kekuatan air yang memberi kehidupan di tengah kekeringan, juga akan kuasa Allah yang memberi kehidupan dari kematian, di dataran bumi, dalam kebangkitan Kristus, dan juga dalam baptisan kita.


Air yang hidup: mengalir dan turun dengan lebat. Air mengalir, dalam Mazmur 104, menjadi sebuah lambang dari berkat Allah yang selalu melimpah pada ciptaan, diturunkan dengan lebat dari Allah kepada bumi dan memberi kehidupan bagi banyak makhluk. Banyak gereja, ketika membangun ruang ibadah baru atau merenovasi ruangan tersebut, mencari cara agar kolam baptisan dapat menjadi air mengalir – “air hidup”, seperti yang digambarkan oleh Didhake dan Alkitab. Beberapa tempat baptisan memiliki dua tingkat: tempat air kecil di bagian atas, yang bisa digunakan untuk baptisan bayi, di mana air di sana akan mengalir ke kolam air yang lebih besar di bawahnya, yang digunakan untuk baptisan anak-anak yang lebih besar dan orang-orang dewasa. Beberapa akan mengatur sehingga air di dalam kolam akan mengalir dengan perlahan, bergerak di dalam kolam itu saja, seperti sebuah mata air, menjadi sebuah pengingat akan air yang mengalir ke dalam kolam baptisan berasal dari sumber lain di luar mata air itu. Beberapa gereja lain, sembari menanti waktu untuk membangun kembali kolam baptisan, melakukan sebuah tindakan simbolis yang amat kuat dengan mengucurkan air ke atas kepala jemaat yang dibaptis, mungkin ketika pendeta dan jemaat yang menerima baptisan berdiri di dalam sebuah kolam yang disusun dan dihias secara khusus untuk perayaan baptisan.


Melalui air mengalir di kolam baptisan, kita terus diingatkan akan aliran air melewati dataran demi dataran yang membawa kehidupan di bumi dan, dengan sifatnya yang mengalir, selalu membawa penyegaran, selalu membawa pembaruan. Melalui aliran air tersebut, kita juga diingatkan bahwa air mengalir karena kekuatan dalam naturnya dan selalu berkumpul menjadi satu, seperti yang ditulis oleh seorang ahli teologi, dari “luar lingkaran kita,” dari tempat-tempat yang tidak bisa kita jangkau atau kontrol. Ketika jemaat-jemaat baru diteguhkan dalam aliran air baptisan, semua asosiasi ini – berkat Allah yang terus melimpah, aliran air menyegarkan dataran-dataran, kualitas air yang selalu dibarui, dan kekuatan yang memberi kehidupan yang mengalir ke dalam kita dari tempat-tempat yang tidak bisa kita kendalikan – membasuh jemaat yang baru saja dibaptis dan memperdalam apresiasi kita akan pentingnya baptisan.


Air dalam sebuah wadah: kedalaman yang misterius. Selain perjumpaan dengan air yang mengalir dan diturunkan secara lebat untuk tanah, kita juga menjumpai air yang berkumpul dalam satu wadah. Dengan kata lain, selain hujan, anak sungai, sungai, dan air terjun, kita juga mengalami air dalam bentuk danau, kolam, telaga, dan lautan. Berkumpulnya air dalam sebuah wadah ini memiliki dan menyimpan kekayaan ekologis: sebuah sumber bagi awan yang kemudian menurunkan hujan ke tanah, ekologi yang kaya bagi ribuan makhluk yang berada di atas permukaan dan di dalamnya, habitat bagi makhluk air seperti paus dan cumi-cumi raksasa yang tubuhnya terlalu besar untuk perairan kecil lain, sebuah tempat perlindungan bagi makhluk air untuk bersembunyi dari makhluk lain yang tinggal di darat atau di udara, dan sebuah penyimpanan air segar yang bertahan lama dan tidak cepat mengering.


Wadah air yang dalam ini menyimpan berbagai misteri dan bahaya: kita tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri atau bahkan mendekati kedalaman danau atau laut yang tersembunyi. Ancaman yang tersimpan di air yang dalam termasuk bahaya tenggelam dan makhluk buas kelaparan yang menjadikan air dalam sebagai tempat tinggal dan lapangan berburu mereka. Di waktu yang sama, menyelam secara fisik ke wadah air yang dalam ini sering kali menawarkan pengalaman penuh sukacita yang menenteramkan dan penuh keindahan.


Kolam baptisan yang cukup dalam untuk menampung seluruh tubuh kita membangkitkan bayangan tentang berbagai wadah air yang dalam di bumi ini dan menggaungkan makna teologis yang terbit dari gambaran Alkitabiah: samudera raya, tertutup oleh gelap gulita, yang di atasnya Roh Allah melayang-layang dalam narasi penciptaan pertama dalam Kejadian 1; air bah yang menutupi bumi, yang dari dalamnya melahirkan kembali bumi (Kejadian 6-8); air laut merah yang membentuk batas antara perbudakan dan kebebasan bagi bangsa Israel (Keluaran 14); kolam Siloam tempat di mana Yesus mengutus seorang buta untuk membasuh mata dan menjadi celik (Yohanes 9:6-11).


Menyambut sifat dasar air. Bagaimana kita bisa menyambut air laut yang mengalir deras ke dalam ruang ibadah kita? Wadah seperti apa yang dapat menampung air tersebut sehingga mereka dapat menunjukkan hubungan dengan semua air mengalir? Dapatkah kita, bahkan di dalam gedung kita yang terbatas, melihat secuplik sifat dari perairan bumi yang luar biasa yang tidak dapat dijinakkan, yang tanpanya kita tidak dapat hidup?


Pertama, kita dapat bertanya apakah jemaat dapat melihat air itu. Sekarang ini, banyak kolam baptisan dirancang untuk menampilkan air sebagai bintang utamanya. Kolam seperti ini dirancang dengan pompa yang terus-menerus mengalirkan atau mengucurkan air, atau mereka juga membuat sebuah mangkuk besar – mungkin dari kaca atau tembaga – untuk menampung air ini. Beberapa gereja mewarisi dan masih menjunjung tempat baptisan dari kayu dengan tambahan sebuah mangkuk besi kecil, yang kemudian digantikan dengan mangkuk kaca yang dapat terlihat oleh jemaat, terletak sedikit lebih tinggi dari mangkuk kayu utama. Pencahayaan juga memainkan peranan untuk menonjolkan air: apakah area baptisan diterangi dengan baik?


Pertimbangan yang lain untuk menyambut dimensi air dari bumi yang tidak dijinakkan adalah area di sekitar tempat baptisan. Apakah area sekitar dipersiapkan untuk cipratan air yang merupakan bagian tak terpisahkan dari baptisan? Banyak gereja memasang batu atau keramik di sekitar tempat baptisan untuk mengantisipasi cipratan air yang cukup banyak dan mengurangi kekuatiran dibanding dengan area yang dilapisi kayu atau karpet.


Pengalaman akan air yang “belum dijinakkan” dapat diperdalam dengan menyediakan ruang bagi jemaat untuk berkumpul di sekitar kolam baptisan dan untuk berbagai ritus lainnya, dan bagi jemaat untuk berjalan melewati kolam, menyentuh airnya dan mungkin membuat simbol salib sebagai pengingat akan baptisan mereka. Kedekatan dan keterlibatan dengan air ini akan menolong agar kolam ini tidak terhalangi dari jemaat, secara harafiah tidak boleh disentuh dan dalam arti lain sudah “dijinakkan”. Apakah area baptisan menciptakan sebuah pusat liturgika yang dengan jelas memaknai bahwa baptisan – termasuk air baptisan – amatlah penting dan disambut oleh komunitas tersebut? Dengan kata lain, apakah air diberi tempat yang kuat dan sangat bermakna dalam ruang ibadah?


Bahan yang digunakan untuk membangun kolam baptisan juga memberi makna akan kolam yang mengandung bahan dasar dari bumi dan punya makna kehidupan dalam ruang ibadah. Bahan-bahan yang dengan jelas berasal dari bumi dan dibentuk secara hati-hati dan penuh perhitungan oleh manusia dapat menyaksikan asal yang “liar” dari bahan-bahan ini: bebatuan, kayu, kaca, dan bijih yang dimurnikan menjadi logam. Ketika melakukan pemercikan air baptisan kepada jemaat di dalam ibadah (sebuah tindakan yang menggemakan hujan sebagai pengingat baptisan), sebuah dahan berisi daun yang tidak mudah layu atau Aspergilum yang berbentuk seperti semak dibuat dari serat alami yang memperagakan koneksi langsung dengan bahan-bahan yang berasal dari bumi. Beberapa gereja lain, bekerja sama dengan para seniman, memasang lampu sorot kecil yang menarik atau bahan reflektor yang dirancang dengan sangat artistik di atas tempat baptisan untuk mengaitkan air baptisan dengan udara, hujan, dan langit.


Tentu saja ada banyak gereja yang merayakan ibadah baptisan di perairan di daerah mereka, termasuk danau, anak sungai, dan laut. Lokasi ini menyediakan perjumpaan yang sangat bermakna dengan air dalam konteks ekologi yang lebih luas. Jemaat dapat menjadwalkan ibadah baptisan tahunan di perairan sekitar gereja pada hari raya Yohanes Pembaptis (24 Juni) atau dekat dengan tanggal tersebut, satu waktu di mana beberapa gereja untuk mengadakan ibadah tahunan untuk memberkati perairan di sekitar mereka.


Pada peristiwa baptisan atau ibadah lain yang berkaitan dengan baptisan, pendeta yang memimpin dapat menaikkan doa ucapan syukur dalam perairan tersebut. Doa syukur untuk air baptisan yang ditulis oleh Martin Luther dikenal dengan nama “Doa Air Bah”, dan doa ini telah memberi pengaruh yang amat besar secara ekumenis. Sekalipun doa ini mengandung berbagai gambaran tentang air, Luther menggunakan air bah di zaman Nuh sebagai gambaran utama. Luther, yang juga menulis tentang baptisan sebagai air bah, menggarisbawahi sifat global akan air bah: seluruh bumi ditutupi oleh air bah; dan sementara air bah zaman Nuh disebut Luther sebagai “air bah kutukan,” air bah dalam konteks baptisan adalah, dalam istilah Luther, “air bah anugerah,” merendam seluruh dunia dalam belas kasihan Allah.


Doa Luther tidak memohon Allah untuk mengubah air dalam wadah kecil di kolam baptisan menjadi “air suci,” tetapi ia mengucap syukur pada Allah, melalui baptisan Kristus di sungai Yordan, membuat “sungai Yordan dan semua air lain” menjadi “kudus dan dikhususkan…untuk menjadi air bah yang menyelamatkan.” Dengan kata lain, bagi Luther, semua air di dunia sekarang ini telah menjadi air bah belas kasihan dan keselamatan yang mengalir dari Allah.


Ketika kita menaikkan doa ucapan syukur atas air baptisan, kita dapat menghormati keteguhan Luther dengan menyisipkan keyakinan bahwa semua air adalah air bah yang menyelamatkan dan karenanya menghubungkan air baptisan yang Alkitabiah dengan perairan di sekitar kita: kita dapat menambahkan beberapa nama perairan secara spesifik dalam daftar ucapan syukur kita. Sebuah komunitas di negara bagian Washington mengadaptasi “Doa Syukur pada Air Baptisan” dari Evangelical Lutheran Worship (buku panduan ibadah dari Evangelical Lutheran Church di Amerika Serikat) untuk menyebut nama-nama perairan di sekitar mereka:


Kami memuliakan Engkau atas lautan dan danau, sungai dan teluk.

Kami menghormati Engkau atas awan dan hujan, embun dan salju.

Kami memuji Engkau atas Gletser Isella dan Teluk Railroad, atas Danau Chelan dan Sungai Columbia,

Air-air-Mu ada di bawah kami, di sekitar kami, di atas kami: hidup kami dilahirkan dalam Engkau.

Engkau adalah sumber kebangkitan.


Banyak yang mengetahui, Luther pernah menulis bahwa dalam baptisan, tiap orang Kristen dapat banyak belajar dan dapat melakukan makna yang ada untuk sepanjang hidup mereka. Esai ini tidak dapat mencakup banyak dimensi baptisan untuk diperdalam, tapi mungkin beberapa dimensi ekologis baptisan yang jarang dibahas telah dibukakan. Dari sedikit cicipan, sebuah panorama yang lebar dibentangkan: Mazmur 104 memimpin kita dalam sebuah doa yang melihat gambaran dataran yang berkembang biak secara ekologis dan terus disegarkan oleh air sebagai sebuah tanda yang penuh kemuliaan dari berkat Allah yang melimpah bagi bumi. Dalam baptisan kita diundang ke dalam visi untuk melihat janji Allah dalam Kristus Yesus oleh kuasa Roh Kudus di dalam perairan bumi yang memberi kehidupan.


Dalam zaman darurat ekologis ini, gambaran akan air yang memenuhi teologi baptisan dan doa-doa kita benar-benar sangat dibutuhkan dan relevan. Doa dan pembelajaran kita tentang air baptisan akan menarik kita lebih dalam masuk ke air yang membasuh dan menahirkan Naaman, yang mengalir dengan limpah atas dataran subur di hadapan pemazmur, dan yang mengalir jernih seperti kristal di tengah kota Allah yang dijanjikan bagi kita, tepat di samping Pohon Kehidupan yang memberi pemulihan.



Artikel ini diadaptasi dari A Watered Garden: Christian Worship and Earth’s Ecology, diterbitkan oleh Augsburg Fortress.



431 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page