STEPHEN MILLER
Sumber: ftc.co
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
“Wow! Tuhan sungguh menjumpai saya dalam ibadah malam ini. Ruangan gereja dipenuhi oleh hadirat-Nya. Sungguh, ini adalah salah satu ibadah terbaik yang saya pernah alami.”
Tulisan di atas adalah isi caption dari akun Instagram yang saya lihat beberapa waktu lalu.
Saya penasaran ingin melihat foto pengalaman yang dijelaskan oleh caption itu. Akan tetapi, saya kaget karena yang dipajang adalah foto seorang remaja yang sedang berdiri di depan cermin dalam kamar mandinya sambil tersenyum aneh. Saya sama sekali tidak bisa memahami hubungan antara pengalaman yang bagikan dalam caption dan si remaja yang berswafoto dengan telepon genggamnya.
Seorang pria berpose dengan kepulan asap dari cerutunya menutupi kemegahan menara Eiffel yang menjadi latar belakangnya.
Seorang gadis remaja yang memasang wajah paling imut di depan bangunan bersejarah Colosseum.
Inilah yang sering kita kerap lihat di media sosial. Kita bukan menyaksikan keindahan dunia dari mata mereka tetapi sebaliknya mereka menghalangi pemandangan kita akan dunia.
Semoga saya tidak sendirian yang merasakan keanehan ini. Saya lebih suka melihat foto air terjun Niagara daripada wajah seseorang yang menghalangi pandangan saya tersebut. Air terjun itu begitu megah sehingga pantas memenuhi seluruh area foto.
Inilah yang persis kita lakukan atas ibadah gereja. Ibadah gereja menjadi melulu tentang kita. Hati kita yang berdosa telah menyingkirkan kemuliaan Allah dan menggantikannya dengan wajah-wajah kita. Kedagingan kita telah mengalihkan perhatian kita dari Allah yang Maha Agung. Padahal, kita diundang-Nya untuk menjumpai dan menikmati Dia.
Ibadah yang dikuasai narsisme ini sudah lama menjajah banyak gereja. Kita pun lebih menghargai suasana daripada makna; letupan emosi daripada kedewasaan rohani; pengalaman musikal daripada penyampaian kebenaran.
Ketika isi lagu dan doa kita dipenuhi dengan mentalitas yang berpusat pada “si aku”, kita pelan-pelan menipu diri sendiri bahwa ibadah memang tentang kita. Kita menyetir ibadah seturut keinginan kita. Kenyataannya, diri kita ini hanyalah sebutir pasir di samudera raya keindahan dan kesucian Allah. Bila kita fokus pada pasir itu maka kita memang sangatlah konyol dan kurang ajar.
Sewaktu kita berkumpul dalam ibadah gereja, kita seharusnya mempersembahkan segala kemuliaan bagi satu-satunya yang pantas menerimanya, yaitu Allah. Kita harus meninggikan Dia di atas tahta-Nya, termasuk dalam tahta hati kita.
Bila kita sungguh-sungguh menyembah Dia maka Dia akan menyatakan diri-Nya dalam ibadah. Ini bukan angan-angan tanpa dasar. Dia adalah Imanuel. Allah yang beserta kita. Tidak ada posisi yang lebih istimewa di bumi ini selain ditebus dan diangkat menjadi anggota keluarga Allah. Kita dapat berdiri di hadapan hadirat Allah untuk menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran melalui Sang Anak.
Dalam penyembahan yang sejati, kita saling membangun dan mendorong. Kita juga saling mengingatkan akan siapa dan karya Allah. Kita memproklamasikan kepada dunia yang sangat membutuhkan Allah. Semuanya ini tidak akan terjadi bila kita lebih suka bernyanyi tentang diri kita sendiri. Kita terobsesi dengan pemuasan ego kita.
Di tengah dunia yang narsis, kita harus terus berjuang melawan godaan untuk mengutamakan selera musik, sentimen nostalgia dan harapan semu lainnya supaya kita bisa mengalami karakter dan perbuatan Allah, Sang Raja dan Sang Penebus, dalam kekaguman dan kesukacitaan.
Kita harus mencelupkan ibadah dan nyanyian kita ke dalam firman, kebijaksanaan, kehendak, kekayaan dan ketetapan-Nya. Dia adalah Allah yang menciptakan planet dan bintang. Dia yang mengatur segala ciptaan. Dia yang membuat elektron, proton, atom, unsur alam, daya tarik bumi dan sebagainya. Semuanya diciptakan oleh dan melalui-Nya. Dan sebelum semuanya ini diciptakan, Dia sudah memilih kita untuk ditebus dan diangkat dalam Kristus. Seluruh kebenaran ini terlalu besar untuk diakomodasi oleh ibadah yang narsis.
Kiranya kita menolak godaan untuk mengisi “bingkai foto” ibadah dengan wajah-wajah kita tetapi kita justru memenuhi pikiran kita dengan kemuliaan-Nya yang kekal seraya kita tidak berhenti mengingat apa yang dikatakan oleh Yohanes 3:30, “Dia harus semakin besar, aku harus semakin kecil.”
コメント