MATT MERKER
Sumber: desiringgod.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Mengapa ibadah Minggu di gereja sering semrawut?
Pembaca Alkitab membuka halaman yang salah dan membaca daftar panjang nama-nama Ibrani dengan belepotan, tidak benar-benar mempersiapkan bagaimana melafalkannya dengan benar. Salindia (slide) PowerPoint mengalami kemacetan lagi. Seorang jemaat dengan semangat yang menggebu-gebu dan suara yang sangat lantang menyanyikan not terakhir di setiap lagu beberapa detik lebih lama daripada jemaat lain, sebuah solo singkat yang membuat beberapa orang cekikikan. Sementara yang lainnya hanya nyengir. Pemain gitar bas memulai lagu himne di nada dasar yang salah, dan semua orang mengetahuinya karena pemimpin ibadah menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.
Saya mengakui bahwa semua kesalahan dan kecanggungan manusiawi ini terkadang menjengkelkan. Saya sedang berusaha fokus pada Tuhan! Semua hal ini mengganggu saya beribadah! Begitulah jeritan dari hati saya yang merasa lebih benar. Mungkin masalah utamanya tidak terletak pada kecerobohan orang lain, tetapi pada ekspektasi kita terhadap ibadah korporat.
Lepas dari Intuisi Konsumen
Kita hidup dalam sebuah masa dengan orientasi pada produk. Kita telah belajar untuk menghargai dan mengharapkan profesionalisme unggul dari berbagai interaksi yang terjadi di hidup kita sehari-hari, mulai dari acara televisi yang kita nonton sampai kepada pengalaman sebagai konsumen di kafe Starbucks.
Saya menamai ekspektasi ini “intuisi konsumen.” Intuisi ini tidak selalu buruk atau salah. Namun, kita perlu mawas diri untuk tidak membiarkan intuisi ini mendikte bagaimana kita memandang ibadah Minggu di gereja. Kita hadir di gereja bukan sebagai konsumen yang ingin mendapat pengalaman akan sebuah produk semata, tetapi sebagai para penyembah yang meninggikan Allah dan saling menguatkan sebagai umat-Nya.
Gereja di Korintus hampir terjatuh pada sikap yang terlalu meninggikan produk yang unggul. Budaya mereka memberi penghargaan tinggi pada para pembicara dengan kemampuan retorika yang mengagumkan dan presentasi yang mempesona. Paulus memiliki pendekatan yang berbeda: “bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia” (1 Korintus 1:17). Tidak dengan “kata-kata yang indah atau dengan hikmat” (1 Korintus 2:1). Paulus menolak “hikmat masa kini” yang berpusat pada manusia, dengan fokus yang dangkal pada penampakan lahiriah, tetapi ia menyampaikan “hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia”: Kristus yang disalibkan (1 Korintus 2:6-7).
Dengan kata lain, Paul sangat memahami bahwa hati kita akan dengan mudah disesatkan oleh penampakan lahiriah. Apa yang kita butuhkan bukanlah “pengalaman” yang bebas dari gangguan dan membuat kita terkagum-kagum, tetapi sebuah perjumpaan dengan kebenaran yang mengubah kehidupan. Para pelayan yang tergelincir akan menarik perhatian kita pada manusia yang membawa pesan. Sebuah pendekatan yang lebih baik – tidak perlu terlalu mempermasalahkan kecanggungan kecil – hal ini akan mengarahkan lampu sorot utama pada pesan Injil yang supranatural.
Umat Kristiani adalah Manusia Tak Sempurna yang Membawa Sukacita
Paulus juga mengingatkan jemaat di Korintus tentang jati diri mereka:
“Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat…” (1 Korintus 1:26-27)
Dalam penilaian dunia, orang-orang percaya ini tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Mereka bukanlah “profesional” – kita juga bukan.
Ini berarti bahwa kita dapat mengharapkan ibadah-ibadah Minggu sedikit tidak sempurna menurut standar dari media modern. Lagi pula, Paulus di bagian berikut suratnya terus mengingatkan jemaat baru ini tentang apa yang harus menjadi prioritas dalam pertemuan di hari Tuhan (Minggu):
“Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.” (1 Korintus 14:26)
Pertemuan ibadah bukanlah sebuah produksi acara, tetapi sebuah kesempatan yang kudus untuk memuliakan Allah melalui pengajaran satu sama lain. Gereja-gereja yang mampu secara finansial haruslah membayar para pengkhotbah (1 Timotius 5:17; Galatia 6:6). Namun jemaat awam akan mengambil banyak bagian, bahkan mungkin sebagian besar, peran dalam ibadah di kebanyakan gereja Protestan – menyanyi, memimpin doa, pembacaan Alkitab, melayani perjamuan kudus. Mengapa kita harus terkejut bila jemaat yang melayani dengan sukarela terkadang membuat kesalahan amatiran?
Faktanya, Paulus mengajar kita untuk menunjukkan rasa hormat yang khusus kepada anggota tubuh Kristus yang tidak memiliki kredensial dan kekuatan dalam standar dunia (1 Korintus 12:22-23). Kita saling membutuhkan termasuk, dan bahkan khususnya, jemaat yang “aneh”. (Kata “aneh” diberi tanda kutip, tentu saja, karena keanehan itu adalah penilaian dari sudut pandang orang yang melihat.) Daripada merasa jengah karena seseorang membuat kesalahan ketika memimpin doa atau lagu, kita seharusnya bersukacita karena gereja adalah tempat untuk orang yang tidak sempurna. Ini bukan sebuah pertunjukan. Gereja adalah keluarga.
Bagaimana dengan Keunggulan (Ekselensi)?
Tentu saja, saya tidak sedang mengajarkan bahwa kita harus mengejar yang sedang-sedang saja dalam ibadah gereja kita, atau bahwa para hamba Tuhan harus mendorong jemaat untuk melayani di bidang yang secara jelas bukanlah talenta mereka. Poin saya bukan supaya kita mengejar kecerobohan, tetapi untuk merangkul ketika hal itu terjadi.
Dan saya tidak menentang “keunggulan”. Hal ini bergantung pada apa yang kita maksud dengan keunggulan. Ya, kita menghormati Allah kala kita melayani-Nya dengan segenap hati. Melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan-Nya (1 Korintus 10:31) berarti mengelola talenta yang sudah Allah berikan dengan sebaik mungkin. Hal ini berarti kita menolak untuk menjadi asal-asalan. Para musisi gerejawi dapat meneladani kaum Lewi yang dikenal menyanyi dengan sangat “terlatih” (1 Tawarikh 25:7).
Mengejar keunggulan dalam pelayanan, pengaturan, dan pengiringan ibadah jemaat Allah adalah hal yang baik. Namun, bila “keunggulan” yang kita maksud dalam level kualitas produksi profesional, saya kuatir hal ini mengungkap bahwa intuisi konsumen telah merasuk ke dalam gereja-gereja kita.
Merangkul Kecanggungan
Allah tahu persis apa yang kita butuhkan – bukan ibadah yang semulus jalan tol, bebas gangguan, dipimpin oleh orang-orang yang kelihatan sempurna. Kita butuh berhimpun dengan keluarga Allah. Sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang yang lemah dan rentan melakukan kesalahan agar kita terus diingatkan bahwa kita semua tidak sempurna. Kita butuh belajar untuk mengasihi mereka yang membuat kesalahan dan menghargai mereka karena mereka ada di dalam Kristus, bukan karena mereka sudah “tampil” dengan baik.
Satu-satunya ibadah yang sempurna adalah yang digambarkan dalam kitab Wahyu, di mana umat tebusan Allah memuji Dia dalam ciptaan baru. Sampai saat itu tiba, Allah dalam hikmat-Nya mengizinkan kesalahan yang ceroboh dan momen-momen canggung terjadi dalam ibadah kita. Tepatnya karena hal itu baik untuk kita.
Comentarios