top of page
  • Writer's pictureWOW Ministry

LIMA HAL YANG PERLU DIKETAHUI TENTANG RATAPAN

GLENN PACKIAM

Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)



Jalanan kosong. Rumah sakit penuh sesak. Gereja tersebar menjadi (gereja) rumah tangga. Tidak ada seorang pun yang tahu sampai kapan kondisi Pandemi ini berlangsung atau bagaimana kondisi terburuknya. Dalam masa yang penuh ketidakberdayaan ini, kita dapat menemukan kembali praktik meratap yang telah hilang. N. T. Wright pernah menggoreskan sebuah tulisan dalam majalah Time pada minggu ini tentang menahan godaan untuk memberikan berbagai penjelasan akan krisis yang kita hadapi sekarang. Ia mengundang kita untuk mengingat bahwa kekristenan menawarkan sebuah jalan untuk meratap yang memimpin pada pengharapan: “Jadi, bagian dari panggilan kristiani bukanlah kemampuan untuk menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa semua ini terjadi. Kenyataannya, ketidakmampuan untuk memberi penjelasan adalah bagian dari panggilan kristiani–sebagai gantinya, kita meratap. Ketika Roh Kudus meratap dalam diri kita maka kita menjadi bait-bait kecil di mana hadirat dan kasih pemulihan Allah tetap hadir sekalipun kita sedang mengisolasi diri.”


Namun, apa sebenarnya ratapan itu? Sesi untuk berkeluh kesah? Pelampiasan? Sinonim untuk duka yang mendalam? Kitab Mazmur–sebuah koleksi purba dari kidung-kidung dan doa-doa dari mereka yang tidak asing dengan penderitaan–dapat memandu kita dalam praktik ini.



1. Ratapan adalah sebuah bentuk pujian.


Para sarjana Perjanjian Lama memperkirakan dua pertiga dari kitab Mazmur adalah ratapan. Namun, judul dari kompilasi ini adalah “puji-pujian” (Bahasa Ibrani: tehilim). Bagaimana mungkin sebuah koleksi yang berisikan banyak sekali keluhan dapat dianggap sebagai pujian?


Akan sangat menolong ketika kita mendefinisikan istilah-istilah ini terlebih dahulu. Secara umum, kata ratapan dan keluhan bermakna sama. Namun, di dalam Alkitab, keluhan dan ratapan muncul dalam konteks yang berbeda dan dapat dikenali sebagai konsep yang berbeda juga. Di padang gurun, bangsa Israel mengeluh kepada Allah tentang kekurangan roti, daging dan air (Keluaran 16-17). Mereka memiliki pikiran paling buruk tentang Allah: Ia hendak membunuh kita! Bangsa yang telah dibebaskan secara dramatis dari Mesir dan diselamatkan melewati Laut Merah sekarang melawan Sang Penyelamat, menggambarkan Dia sebagai lawan. Keluhan-keluhan mereka sebenarnya adalah cara mereka menghakimi Allah; mereka sedang “menguji” Allah. Namun dalam berbagai mazmur, Israel memohon Allah untuk menjawab sesuai dengan kasih-Nya yang tak berkesudahan, karena Dia adalah Allah yang adil dan benar, dan karena Dia telah terbukti setia di masa lampau. Dengan mengontraskan Israel di padang gurun dan Israel dalam ibadah, kita dapat mengatakan bahwa sebuah keluhan adalah tuduhan terhadap Allah yang memfitnah karakter-Nya, tetapi sebuah ratapan adalah permohonan kepada Allah berdasarkan kepercayaan akan karakter-Nya.



2. Ratapan adalah sebuah bukti dari relasi.


Bangsa Israel membawa ratapan mereka kepada Allah dalam banyak mazmur yang didasari pada perjanjian-Nya dengan mereka. Doa-doa dan kidung-kidung ini bukanlah uji coba yang sia-sia untuk meyakinkan figur Tuhan yang jauh untuk akhirnya memperhatikan mereka. Mereka bukan seperti nabi-nabi Baal yang menari dan melukai diri untuk memancing sebuah respons. Mereka adalah bangsa yang dipanggil YHWH–satu-satunya Pencipta yang berkuasa–sebagai “anak sulung”-Nya. Mereka sedang memohon Bapa mereka untuk mengambil tindakan.


Di suatu Sabtu pagi, saya dan istri mencoba menikmati kemewahan untuk tidur lebih lama hingga pukul 8 pagi, tetapi anak-anak kami yang masih kecil sudah kelaparan dan ingin sarapan; pastinya mereka tidak akan lari keluar ke rumah tetangga untuk memohon sepiring makanan. Mereka dengan berani akan datang ke kamar tidur kami dan meminta apa yang mereka butuhkan. “Bisakah masak telur untukku?!” Saat itu, kami tergoda untuk merasa jengkel, tetapi kami seharusnya merasa dihormati dengan permintaan mereka itu. Permintaan itu pada intinya adalah bukti relasi kami dengan mereka.


Kebalikan dari cerita tadi digambarkan secara tragis oleh Dr. Russell Moore dalam bukunya, Adopted for Life (“Menjadi Anak Adopsi Seumur Hidup”). Moore meggambarkan mengunjungi sebuah panti asuhan di Rusia ketika sedang dalam proses untuk mengadopsi seorang anak. Keheningan di ruang kamar bayi itu mengerikan. Bayi-bayi di banyak tempat tidur itu tidak pernah menangis. Bukan karena mereka tidak pernah membutuhkan apapun, tetapi karena mereka telah belajar bahwa tidak ada seorang pun yang cukup peduli untuk menjawab mereka. Anak-anak yang percaya pada kasih pengasuhnya pasti akan menangis. Bagi umat kristiani, ratapan kita yang dibawa kepada Bapa kita yang di surga adalah bukti dari relasi kita dengan Allah. Hubungan kita dengan Sang Pengasuh yang luar biasa.



3. Ratapan adalah cara menuju keintiman dengan Allah.


Beberapa tahun yang lalu, saya membaca artikel yang menakjubkan oleh psikolog Bonnie Poon Zahl mengenai teori kelekatan (attachment) dan relasi kita dengan Allah. Ia menggambarkan teori kelekatan sebagai penjelasan akan “bagaimana orang belajar untuk mengalami dan merespons pada perpisahan dan stress dalam konteks relasi inti dan erat sejak dini dalam hidup mereka.” Mengacu pada John Bowlby dan Mary Ainsworth, Zahl menjelaskan tiga tipe kelekatan–kelekatan aman (secure attachment), kelekatan cemas dan menghindar (anxious-avoidant attachment), atau kelekatan cemas dan ambivalen (anxious-ambivalent attachment). Dari riset yang dilakukan Ainsworth, anak yang “cemas-dan-menghindar” tidak peduli ketika mereka terpisah atau disatukan dengan orang tua mereka, dan hanya ingin bermain sendiri; anak yang “cemas-dan-ambivalen” akan menempel pada orang tua mereka, dan mereka menjadi amat sangat kesal ketika orang tua mereka “pergi” dan “sulit untuk ditenangkan” bahkan ketika orang tua mereka kembali, kelihatannya menjadi marah pada orang tua mereka karena sudah pergi. Zahl menulis bahwa riset “mengonfirmasi kecenderungan untuk melihat Allah sebagai figur kelekatan dan kecenderungan untuk berpikir tentang dinamika relasi seseorang dengan Allah serupa dengan dua dimensi yang ada dalam kelekatan manusiawi: cemas akibat pembiaran (perpisahan) dan menghindar dari keintiman.”


Saat membaca artikel Zahl, saya berpikir tentang nilai sebuah kejujuran dalam kitab Mazmur. Dengan meletakkan setiap emosi dan setiap pengalaman di hadapan YHWH, Allah perjanjian mereka, para pemazmur sedang memperkuat ikatan keintiman, meneguhkan sebuah kelekatan. Sama seperti Allah membuat perjanjian dengan Abraham dengan membelah hewan-hewan, maka Israel menjelmakan ikatan perjanjian dengan membuka hati mereka di hadapan Allah. Kitab Taurat Musa disusun dalam lima kitab yang berisi perintah Allah–firman-Nya kepada umat-Nya; kitab Mazmur disusun dalam lima bagian, memandu kita bagaimana “menjawab Allah”. Allah yang berfirman memanggil kita dalam sebuah relasi. Ratapan adalah salah satu cara kita merespons.



4. Ratapan adalah doa agar Allah bertindak.


Ratapan dalam Alkitab bukan sekadar melampiaskan rasa frustrasi kita. Walaupun menyalurkan emosi negatif terbukti bermanfaat, sebuah ratapan adalah bentuk dari doa. Dan doa bukanlah tindakan yang pasif. Banyak dari ratapan dalam mazmur-mazmur ini mengajak kita untuk bertindak. Mereka memohon Allah untuk mengindahkan mereka dan untuk bertindak bagi mereka. Sebenarnya, banyak sarjana Perjanjian Lama mengindentifikasi “petisi” sebagai elemen yang harus dimiliki oleh sebuah mazmur ratapan. Contohnya, kata Ibrani untuk “mendengar”, shema, muncul 79 kali, saat pemazmur memohon dengan sangat agar Allah mendengarkan teriakan mereka dengan saksama. Pemazmur memohon atas dasar karakter dan perjanjian Allah serta meminta perhatian dan tindakan-Nya.


Perjanjian Baru membawa kita lebih jauh. Ketika Yesus mengajarkan murid-murid-Nya berdoa, Ia tidak sedang memberikan mereka sesuatu yang menarik untuk mengisi waktu belaka. Ia sedang mengundang mereka untuk mengambil bagian dalam kedatangan Kerajaan Allah. Dalam surat-surat Paulus, doa-doanya bukanlah sekedar pembukaan, tetapi dasar pemikiran dari seantero suratnya adalah mewujudkan teologi dan etikanya dalam pujian (doxology) yang dinaikkannya. Faktanya, doa bagi Paulus adalah salah satu cara Allah bertindak. Seperti yang Profesor Wright katakan, “Saat kita didiami oleh Roh Kudus, maka entah bagaimana, Allah sedang berdoa di dalam kita untuk duka di sekeliling kita.”



5. Ratapan adalah partisipasi dalam duka sesama.


Beberapa tahun yang lalu, saya mulai berdoa dengan mazmur secara rutin. Saya menemukan sejak awal ada beberapa mazmur yang sepertinya tidak “cocok” dengan hidup saya–saya menggunakan mereka sedikit sekali dan bahkan tidak sama sekali dalam perenungan pribadi. Namun, seiring dengan terus belajar tentang praktik berdoa dengan Mazmur, saya menyadari bahwa inti dari praktik seperti ini adalah untuk menempatkan saya di antara jemaat orang-orang kudus–semua yang telah ada di masa lalu dan semua yang ada di seluruh penjuru dunia hari ini. Mungkin saya tidak sedang dikejar oleh musuh atau dikepung dari semua arah, tetapi bagaimana dengan umat kristiani di Suriah? Bagaimana dengan Susan yang sedang berjuang dengan diagnosis kanker? Semakin baik saya mencoba berimajinasi yang dipenuhi doa, semakin dalam saya menyadari berdoa dengan Mazmur adalah sebuah partisipasi dalam kehidupan doa gereja, secara historis dan secara global.


Ratapan bukan hanya bagi mereka yang menderita; ratapan adalah solidaritas dengan mereka yang menderita. Kita mengasihi sesama ketika kita mengizinkan pengalaman duka mereka menjadi isi doa kita. Lagipula, hal ini dilakukan Yesus bagi kita. Teriakan-Nya yang ganjil saat bertanya mengapa Allah meninggalkan Dia telah dianalisis oleh banyak sarjana dan ahli teologi untuk menemukan makna teologi inkarnasi atau teologi Tritunggal. Namun, hal yang sering kita lewatkan adalah bahwa Yesus berdoa dengan kata-kata dari Mazmur 22 secara persis, karena itu adalah doa dari banyak martir Yahudi di abad pertama. Yesus, berada di ambang kematian dengan cara yang kejam dan memalukan di atas kayu salib, berdoa dalam solidaritas dengan mereka yang menderita. Sungguh, kematian-Nya adalah doa solidaritas yang tertinggi. Dan setiap doa ratapan yang kita naikkan adalah “Amin” terhadap doa Yesus.


-----


Ratapan bukanlah doa terakhir kita. Ratapan adalah doa “sementara ini”. Kebanyakan mazmur ratapan diakhiri dengan “janji untuk memuji”–sebuah janji untuk mengembalikan syukur kepada Allah atas pembebasan-Nya. Karena Yesus Kristus telah bangkit dari kematian, kita tahu bahwa kesengsaraan bukanlah akhir cerita kita. Kidung kita mungkin dinyanyikan dalam nada minor sekarang, tetapi suatu hari nanti kidung kita akan diselesaikan dalam nada mayor. Ketika tiap tetes air mata dihapus, ketika maut dikalahkan dalam kemenangan, ketika surga dan bumi dijadikan baru dan dipersatukan, ketika para orang kudus bangkit dalam tubuh kemuliaan…akhirnya kita akan menyanyikan “Haleluya!” yang megah.


Sementara ini, kita menaikkan ratapan kepada Allah dan menantikan dengan penuh pengharapan. Sambil berkata, “Datanglah Tuhan Yesus!”









1,671 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page