top of page
Writer's pictureWOW Ministry

MENGAPA RATAPAN PENTING DALAM IBADAH?

Josh Lee

Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)



Di budaya masa kini yang sangat terobsesi dengan media sosial, foto pasangan muda yang tersenyum, gaya hidup para blogger dan pemandangan menawan dari tempat wisata memenuhi layar kita setiap hari. Gambar-gambar yang membombardir ini secara tersirat dan kuat menyampaikan pesan bahwa kehidupan haruslah seperti itu.


Kecantikan, kesehatan dan kebahagiaan haruslah mewarnai kehidupan masa kini. Gambar-gambar ini gagal menyingkapkan kisah-kisah sedih, penderitaan dan bahkan kematian yang sebenarnya kita hadapi setiap hari. Bagaimana gereja masa kini melawan optimisme palsu yang dicekoki oleh budaya masa kini?


Dalam bukunya, Worship Seeking Understanding, John Witvliet menyimpulkan secara tepat, “Ibadah bersama dengan orang percaya adalah sumber utama untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap menghadapi kematian dengan baik.” (hal.274)


Fakta penderitaan dan kematian dengan begitu berani dihadapi dan bahkan dimaknai melalui ibadah bersama di gereja. Kegiatan mengingat (anamnesis) kematian dan kebangkitan Kristus dilakukan dalam Perjamuan Kudus. Kematian diri kita sendiri disimbolkan dalam baptisan air. Kita juga mengakui kerapuhan kita dalam bagian pengakuan dosa dan berita anugerah. Gereja mengulang-ngulang kenyataan akan dosa, penderitaan dan kematian karena kita tahu bahwa kehidupan kita tidak berhenti di situ.


Sayangnya, gereja Injili kontemporer dan ibadah mereka telah gagal karena terlalu meniru dan meminjam pesan budaya masa kini yang menekankan pencitraan, sehingga kehilangan kejujuran dan kuasa di tengah dunia yang rusak dan dipenuhi oleh orang-orang yang malang. Sekalipun di ujung kisah Injil terdapat pengharapan yang teguh, bukan berarti kita secara gegabah melupakan bagian yang berisi penderitaan dan kehancuran kita. Itu sebabnya, ratapan sangatlah tepat dan bahkan dibutuhkan sebagai ekspresi dari ibadah bersama.


Berikut ini tiga pertimbangan mengapa ratapan itu sangat penting bagi ibadah gereja.


RATAPAN MEMENUHI KITAB MAZMUR

Mazmur telah digunakan oleh gereja dari segala abad. Untuk memahami betapa gereja perdana menyukai Mazmur, lihatlah bahwa Mazmur adalah kitab dari Perjanjian Lama yang paling banyak dikutip dalam seluruh Perjanjian Baru. Yesus sendiri mengutip Mazmur lebih sering daripada kitab lainnya dari Perjanjian Lama. Nyanyian dan doa yang ada dalam Mazmur begitu lekat dengan ibadah Kristen sejak tiga abad pertama gereja. Namun, tampaknya menyanyikan Mazmur sudah dilupakan oleh banyak gereja Injili. Bersamaan dengan hilangnya kebiasaan menyanyikan Mazmur maka hilang pula disiplin meratap yang mengisi sepertiga dari kitab ini. Mari kita lihat beberapa contoh kecil berisi ratapan yang begitu jujur dari Mazmur:


“Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku.” (6:7)


“Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: "Di mana Allahmu?"...” (42:4)


“Hatiku terpukul dan layu seperti rumput, sehingga aku lupa makan rotiku. Oleh sebab keluhanku yang nyaring, aku tinggal tulang-belulang.” (102:5-6)


Barangkali, ratapan yang paling terkenal adalah yang diucapkan oleh Yesus sendiri dari atas salib di bukit Kalvari. Yesus mengutip Mazmur 22, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Tema dan rujukan pada kesusahan, kesedihan dan kesesakan bertebaran di seluruh kitab Mazmur. Akan tetapi, seberapa banyak lagu-lagu rohani modern yang mengikuti jejak pemazmur untuk dengan jujur memperlihatkan kegelisahan dan pergumulan yang berat?


Mazmur bukan saja memberikan kata-kata untuk kita meratap tetapi juga kata-kata yang mengandung harapan dan jaminan bahwa Allah begitu setia terhadap umat-Nya serta pantas untuk kita puji. Ratapan kita tidak semata-mata berisi teriakan keputusasaan. Mazmur selalu mengingatkan bahwa keselamatan pasti datang dari Allah dan Dia setia kepada umat-Nya sekalipun mereka tidak setia. Ratapan dalam Mazmur dimulai dengan seruan orang yang menderita tetapi sering diakhiri dengan keyakinan iman, permohonan dan pujian.


RATAPAN MENCERITAKAN UNSUR TERPENTING DARI BERITA INJIL

Menceritakan Injil harusnya diikuti dengan kejujuran kita dalam menghadapi dosa dan kesedihan kita. Di satu sisi, kita memang mengakui bahwa Kristus sudah menang atas kuasa kegelapan melalui karya-Nya di atas kayu salib. Namun, di sisi lain, kita juga menyadari bahwa seluruh dunia ciptaan masih mengerang karena mengalami dampak dosa (Roma 8:22). Erangan ini mengingatkan kita bahwa kita masih dalam perjalanan yang belum selesai. Kita dipanggil untuk menghidupi makna baptisan kita setiap hari, yaitu mati atas dosa dan hidup dalam Kristus.


Salah satu cara gereja mengekspresikan ratapan adalah melalui pengakuan dosa korporat. Pengakuan dosa bukan semata-mata berurusan dengan dosa individual tetapi juga bersama-sama mengakui kesalahan semua orang, gereja secara lembaga dan dunia yang rusak ini, serta selalu membutuhkan anugerah Allah. Sebelum gereja dapat menghargai kuasa penyelamatan dari salib, kita harus sungguh-sungguh meratapi keberdosaan dan kerapuhan yang telah melanda hidup kita. Meskipun topik dosa, kerapuhan dan ratapan tidak menarik bagi orang di luar gereja, tetapi bila kita ingin meninggikan Injil maka kita harus menyediakan ruang untuk meratap.


RATAPAN BERINTERAKSI DENGAN REALITAS

Agustinus pernah berkata, “Lebih baik hati manusia merasakan kesedihan yang mendalam dan disembuhkan darinya, ketimbang tidak pernah merasakan apapun karena itu artinya kita bukan manusia.” (Sermon 173:2) Agustinus secara tepat melihat ironi dari kesedihan. Dengan bersedih maka kita berkesempatan mengalami penghiburan. Bersedih adalah bagian dari menjadi manusia. Kenyataan yang sering terlupakan adalah pada setiap hari Minggu pasti ada anggota jemaat yang bersedih karena alasan-alasan tertentu. Misalnya, ada yang bersedih karena orang yang dicintainya meninggal dunia, hubungan yang renggang, diagnosis dokter akan penyakit yang mematikan atau hal-hal kecil seperti merasa tidak puas di tempat kerja. Setiap orang percaya membawa beban masing-masing ke gereja pada setiap hari Minggu.


Dalam zaman di mana semakin sulit bagi kita untuk mencari makna dari apa yang terjadi, gereja yang diklaim mengetahui kisah utama di balik semua peristiwa dan kejadian haruslah menjadi tempat pertama bagi orang-orang untuk mendapatkan jawaban yang jujur, terutama dalam ibadah. Kita harus dibekali dengan nyanyian dan doa ratapan yang diinspirasikan oleh Alkitab. Nyanyian dan doa yang tidak malu-malu mengedepankan kondisi manusia. Tidaklah cukup bila ibadah gereja hanya menciptakan atmosfir nyaman, bahagia dan positif. Sementara itu, kebutuhan sebenarnya dari orang-orang adalah kata-kata yang bisa mewakili pergumulan mereka tetapi sekaligus diingatkan pada kisah Allah yang membawa kepada pengharapan di tengah penderitaan.


KESIMPULAN

Sebagai orang Kristen, kita menganggap hari Minggu sebagai hari penuh kemenangan karena Allah sudah mengalahkan dosa dan kegelapan. Hari Minggu patut menjadi hari perayaan yang diwarnai sukacita atas apa yang Allah sudah kerjakan di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Akan tetapi, ratapan tetap harus mendapatkan tempat dalam ibadah sebagaimana kita juga rindu menceritakan Injil secara utuh dan bersahabat dengan kerapuhan jemaat kita. Semuanya hanya bisa dimungkinkan bila kita memberi diri dipandu oleh pola Alkitab dalam memadukan ratapan dan pujian.


381 views0 comments

Comments


bottom of page