top of page
  • Writer's pictureWOW Ministry

REFLEKSI HARI REFORMASI BAGI GEREJA MASA KINI

ERIK RAYMOND


Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)



Seiring kalender kita akan memasuki bulan November, gereja Protestan mengenang bagaimana api Reformasi dipantik oleh Martin Luther pada tahun 1517. Dengan palu di tangan, sang biarawan memantekkan protes di gereja Wittenberg. Bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya, ia terus memimpin gerakan Reformasi gereja sampai beberapa dekade ke depan.


Saya suka membaca dan mempelajari sejarah Reformasi. Pembacaan tersebut begitu kaya dalam banyak hal: menyemangati, meyakinkan, memberitahukan, dan menggugah saya. Sewajarnya, kita mengamati gereja-gereja masa kini dan mengevaluasinya melalui lensa Reformasi. Saat kita melakukan ini, kita bersukacita karena menemukan lagi esensi dari Reformasi. Sebagai contoh, penekanan pada prinsip-prinsip Solas mengingatkan saya bahwa jiwa dan warna dari teologi Reformasi masih terus hadir sampai sekarang. Penemuan kembali yang luas dari Injil dan keberpusatan padanya di generasi terakhir ini merupakan alasan kita untuk memuji Tuhan. Di saat yang sama, melihat melalui kacamata Reformasi menuntun kita hal-hal yang perlu kita koreksi. Saya telah mendaftarkan lima pengingat bagi kita.


1. PERHATIKAN JUGA HAL-HAL LAMA KETIMBANG HANYA HAL-HAL KEKINIAN.

Saat mempelajari peristiwa Reformasi, saya terkejut karena para pemimpinnya tidak melulu berusaha menciptakan hal-hal yang sama sekali baru tetapi menemukan dan mengajarkan hal-hal yang lama. Mereka mengasihi gereja. Mereka ingin memperbaharuinya. Mereka mengasihi doktrin, khususnya pembenaran oleh iman, dan ingin menekankannya kembali. Bila kita jujur, kita harus mengakui bahwa sikap ini jarang ditemui di masa sekarang. Kita cenderung meremehkan hal-hal dari masa lalu. Kita lebih terobsesi pada hal-hal yang baru. Gembala dan pemimpin gereja sering berbicara tentang apa visi Tuhan untuk gereja mereka di masa depan. Anggota gereja sering membahas model gereja seperti apakah yang paling relevan. Bahkan di kalangan anak muda Reformed, ada semacam keinginan untuk terus menjadi baru. Berbeda dengan para tokoh Reformasi yang justru menengok ke masa lalu untuk mendulang harta dan warisan gereja yang berharga, sekalipun sudah tertimbun oleh kesesatan doktrin dari gereja Katolik Roma pada abad ke-16.


2. TETAPLAH SETIA SEKALIPUN TIDAK DISUKAI ORANG-ORANG.

Bacalah lagi kisah-kisah Calvin, Luther, Zwingli, dan tokoh lainnya. Kita akan kaget karena betapa mereka tidak terlalu peduli dengan reputasi mereka. Mereka hanya ingin setia kepada Tuhan; bukan supaya disukai orang banyak. Calvin diusir dari Jenewa. Luther disidang oleh para pembesar gereja. Mereka punya mental yang baja. Alih-alih mereka tawar-menawar, mengubah doktrin, atau berbisik-bisik, mereka malah semakin berteriak! Saya cemas dengan generasi kita. Gereja seringkali ditekan untuk tidak berani tampil beda. Ketika seseorang berdiri membela sebuah doktrin tertentu, seringkali ia akan dicap legalistik dan kaku. Namun, akan tiba waktunya, seorang pemberita firman Tuhan harus jelas atas apa yang bertentangan. Ia harus dapat menunjuk doktrin yang salah. Sebuah ironi: kita sangat mengagumi kesetiaan para tokoh Reformasi. Akan tetapi, kita lupa bahwa kesetiaan mereka bukan tanpa pengurbanan. Mereka hanya bisa setia kepada Allah ketika mereka tidak lagi mengejar penerimaan sesama.


3. BERGANTUNG DALAM DOA DARIPADA HANYA MEMPERCAYAI DIRI SENDIRI.

Saya yakin kita semua ingin melihat kemajuan Injil. Pertanyaannya, bagaimana ini dapat terjadi? Alkitab yang sama telah melahirkan kerinduan itu sekaligus memuat petunjuk bagaimana mewujudkannya. Kita mungkin pernah membaca tulisan Luther, “Hari ini adalah hari yang sangat sibuk. Itu sebabnya, saya lebih baik berdoa selama tiga jam.” Atau tentang Calvin yang sering berdoa secara refleks. Kita menyadari bahwa Reformasi hanya dapat terjadi melalui doa para orang kudus. Tapi pada hari-hari ini, mengapa persekutuan doa di gereja kita tidak lagi dipenuhi orang? Atau mungkin, gereja kita sudah tidak mengadakan persekutuan doa sama sekali! Dalam banyak ibadah gereja Injili sekarang tidak lagi dipenuhi dengan doa-doa. Mengapa kita tidak lagi berdoa? Selama kita hanya mengandalkan kebijakan dan kemampuan diri sendiri maka semua usaha kita untuk mereformasi gereja hanya akan sejauh fenomena yang sedang ngetren. Kiranya kita dapat membunuh naga “terlalu percaya diri” dalam diri kita dan mulai bergantung pada tahta kasih karunia-Nya.


5. KEJARLAH DAN SAYANGILAH DOKTRIN DARIPADA ALERGI KEPADANYA.

Saya pernah bercakap-cakap dengan seorang pemimpin gereja yang mencerminkan permasalahan dalam diri banyak orang Kristen. Ia berkata bahwa ia tidak lagi mengkhotbahkan doktrin. Melainkan, ia berusaha supaya khotbahnya hanya berisi hal-hal yang praktis dan ringan. Banyak orang akan mendukung pendekatan khotbah seperti ini. Sayangnya, sikap tersebut menunjukkan ketidakpahaman dan sikap meremehkan doktrin. Apa yang kita berikan kepada jemaat bila kita tidak mengajarkan doktrin? Banyak gembala dan anggota gereja sekarang tampaknya begitu alergi terhadap doktrin. Kita bisa menghindari roti perjamuan yang bebas gluten–bila kita alergi terhadap gluten–tetapi kita tidak bisa menghindari khotbah yang sepenuhnya bebas dari doktrin (2 Tim 4:22). Bila kita ingin menyaksikan keberlangsungan gerakan Reformasi di masa sekarang maka gerakan ini tidak bisa diceraikan dari pengajaran yang setia pada doktrin yang sehat (dan tentu termasuk aplikasinya).


6. CINTAILAH ALKITAB, BUKAN HANYA PARA PESOHOR GEREJA.

Sejak gereja di Korintus sampai Calvin di Jenewa, setiap zaman pasti menghadapi tantangan untuk memberhalakan tokoh-tokoh tertentu. Tentu saja, kita mengasihi para pemimpin kita. Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah memakai mereka untuk mengajarkan firman-Nya kepada kita. Namun, terkadang, kita kebablasan. Itu sebabnya, Calvin pernah berpesan agar makamnya tidak perlu diberikan nama untuk menghindari penghormatan jemaat yang berlebihan kepadanya. Inilah kekhawatiran saya di tengah-tengah diskusi yang terlihat keren tentang Injil dan teologi: apakah kita lebih suka hanya pada para pengarang buku Kristen atau pada Alkitab? Kita rajin mengutip Piper, Keller, MacArthur, Sproul, dan Dever. Akan tetapi, apakah kita juga terpesona pada Alkitab yang pertama-tama telah memesonakan hati mereka? Kita harus belajar firman Tuhan–bukan sekedar apa yang dikatakan oleh Stephen Tong tentangnya. Reformasi gereja dimulai ketika kita kembali pada Alkitab. Sebaiknya kita tetap menganggap para pemimpin sebagai alat, bukan tujuan puja-puji kita. Mereka hanya penolong yang membawa kita memasuki teks Alkitab sehingga kita bisa membaca dan menikmatinya. Kerinduan saya bagi generasi ini adalah kiranya bukan hanya menyukai para teolog Reformasi tetapi juga teologi Reformasi. Dan untuk mencapai keadaan tersebut, kita harus mencintai firman Tuhan dan Tuhan yang telah berfirman.


Mengingat Reformasi adalah mengingat apa yang Tuhan pernah kerjakan dalam sejarah. Kiranya Dia menguatkan tangan kita pada hari ini untuk mengusung obor Reformasi sampai ke masa depan. Kita melakukannya sambil tidak melupakan apa yang kita telah pelajari di masa lalu.


572 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page