top of page
  • Writer's pictureWOW Ministry

SATU DALAM ROH: MELIBATKAN ORANG-ORANG DENGAN DISABILITAS DALAM IBADAH

GRACE RUITER


Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)



Harold Wylie adalah seorang jemaat Grace Church yang berusia lanjut dan mengalami keterbelakangan yang signifikan. Walaupun ia dapat berobat jalan, ia berjalan dengan susah payah; kemampuan bahasanya sangat terbatas. Percakapan dengan Harold biasanya terdiri dari beberapa frase yang itu-itu saja, yang paling sering muncul adalah, “Hei, apa kabar?” disertai dengan tepukan di punggung. Harold mengatakan kalimat ini berkali-kali setiap Minggu, terkadang dengan variasi. Suatu kali, saya mendengar ia menyapa pendeta kami dengan kata-kata, “Halo, kamu yang jahat!” Hanya Harold yang tidak mendapat masalah dengan kalimat itu, walaupun jemaat lain tergoda untuk mencoba!


Di suatu Minggu, ketika diadakan perjamuan kudus dalam ibadah, saya memahami pentingnya kehadiran Harold dalam gereja kami dengan cara yang baru. Dalam liturgi hari itu, kami melakukan apa yang kami sebut dengan perjamuan kudus “maju ke depan”. Sekelompok kecil jemaat akan disambut untuk maju ke altar di mana mereka berkumpul dalam barisan setengah lingkaran untuk menerima roti dan anggur. Sementara itu, jemaat yang lain akan bernyanyi dengan lembut. Harold ada di kelompok jemaat yang duduk di bagian belakang, dan jemaat lain dalam kelompok itu sudah sampai ke depan sementara Harold belum sampai setengah jalan ke tujuan. Sapaannya, “Hei, apa kabar?” dapat terdengar dengan jelas setiap kali Harold berhenti untuk menepuk bahu dari teman-teman yang ia lewati. Seorang penatua, memperhatikan bahwa kelompok Harold akan segera dilayani di depan, berjalan 5 meter dan kemudian merangkul Harold. Harold pun melakukan hal yang sama, dan bersama mereka berjalan ke depan. Pada saat yang sama jemaat sedang bernyanyi sebuah bait dari “Kita Satu dalam Roh.” Kami menyanyi, “Kita akan bekerja dengan sesama, kita akan bekerja bersama, dan kita akan saling menjaga kehormatan sesama dan saling menyelamatkan kebanggaan saudara.” Semuanya terjadi seperti sudah diatur sebelumnya…


Beribadah bersama Harold dan orang-orang lain seperti dia telah mengajarkan jemaat gereja kami banyak hal tentang makna iman seperti anak kecil yang dipuji oleh Kristus dan tentang kodrat persekutuan Kristen. Namun, banyak orang dengan disabilitas seperti kondisi Harold masih berdiri di perbatasan, tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga Allah yang beribadah bersama.


Sudah waktunya berubah.


Orang-orang dengan Disabilitas Membuat Gereja Makin Utuh

Ketika gereja abai untuk melibatkan orang-orang dengan disabilitas, gereja sedang memiskinkan dirinya. Rev. Harold Wilke, pendeta dari sebuah United Church of Christ yang, karena sebuah kecelakaan, kehilangan kedua lengannya, mengatakan demikian, “Sebuah gereja menjadi cacat kecuali gereja memiliki orang-orang dengan kondisi yang cacat di dalamnya. Hanya ketika semua anak-anak Allah hadir, barulah kita sungguh menjadi tubuh Kristus” (Wilke, “Pesan utama pada Presbyterians for Disabilities Concerns Conference,”1989). Dapatkah Anda menangkap gagasan luar biasa itu? Tanpa orang-orang penyandang disabilitas, gereja sendiri menjadi penyandang disabilitas!


Gereja Kristen telah sering memberi respons penuh kasih untuk menjawab kebutuhan orang-orang dengan disabilitas; tetapi, sekaranglah waktunya untuk bergerak lebih. Umat Kristiani saat ini harus belajar bahwa yang lemah dan yang kuat sama-sama dibutuhkan di dalam gereja–bahwa mereka yang terbelenggu atau kelaparan atau penuh kelemahan memiliki karunia-karunia yang berharga.


Apa saja karunia-karunia itu? Orang dengan disabilitas memiliki banyak karunia-karunia yang juga dimiliki oleh orang tanpa label disabilitas. Hanya karena seseorang tidak dapat melihat, bukan berarti ia tidak dapat membaca Alkitab. Kebutuhan untuk menggunakan kursi roda tidak dapat membungkam suara yang begitu indah. Retardasi (mental) tidak dapat mengurangi ketulusan dari pengakuan iman yang seseorang lakukan di depan umum. Orang dengan disabilitas dapat dan harus menggunakan karunia-karunia yang mereka milik dalam ibadah, sama seperti yang dilakukan orang-orang lainnya.


Mereka juga dapat menggunakan karunia unik yang hanya ada pada diri mereka. Jean Vanier, seorang filsuf dan teolog Perancis-Kanada telah tinggal di dalam sebuah komunitas bersama dengan orang-orang dengan disabilitas selama bertahun-tahun. Ia mengingatkan kita bahwa...


… Yesus yang memberi hidup-Nya tinggal tersembunyi di dalam mereka. Ia sungguh hidup di sana. Jika Anda menjadi teman bagi seorang yang tak berdaya, Anda menjadi teman Yesus; Anda masuk dalam sebuah relasi yang intim dengan Yesus dan Anda akan dipimpin masuk ke dalam hati yang penuh kebahagiaan.


–Jean Vanier, The Broken BodyJourney to Wholeness, 1988, p.73.



Kitab Suci juga berkata:


“Siapa pun juga yang menyambut salah satu dari mereka, saudara dan saudariku, menyambut Aku, dan siapa pun menyambut Aku menyambut Dia yang mengutus aku.”


–Matius 25:40 (parafrase saya)


Apakah mungkin bahwa Yesus dapat mewahyukan Diri dalam orang-orang dengan disabilitas? Bertolak belakang dengan budaya Barat, yang mengagungkan kesehatan dan kebugaran, dan yang menyanjung pencapaian dan produktivitas, Injil meggambarkan kehidupan –Kristus dan kita– sebagai perpaduan dari kekuatan dan kelemahan.


Kristus mengundang kita ke dalam kehidupan kemuridan di tengah dunia yang tidak, dan juga di antara orang-orang yang tidak, sehat secara intrinsik. Kehadiran disabilitas dalam jemaat gereja adalah sebuah pengingat, bahwa walaupun kita semua harus hidup dengan kerapuhan, kerapuhan bukanlah kata terakhir. Ketika gereja menyambut perbedaan dalam tiap orang, termasuk mereka yang menyandang sebutan “disabilitas,” kita menolong setiap anggota gereja untuk menyelesaikan luka dengan lebih mudah dan mulai bergerak menuju keutuhan.


Orang-orang dengan Disabilitas Menolong Kita untuk Memahami Ibadah sebagai Dialog

Dalam ibadah kita berjumpa dengan Allah. Namun, perjumpaan itu bukanlah pertemuan dan percakapan antara dua pihak yang setara. Kita tidak memiliki hak untuk masuk ke dalam dialog karena keunggulan kita dalam bernyanyi, kefasihan kita dalam berdoa, atau kekayaan ekspresi kita dalam membaca Kitab Suci. Ketika orang-orang dengan disabilitas berpartisipasi dalam peran yang tampak jelas dalam ibadah, kita semua diingatkan bahwa Tuhan kita yang luar biasa itu turun dari takhta-Nya untuk menjumpai setiap kita yang penuh dengan cela. Dalam ibadah, kita berjumpa dengan Allah Sang Rahmani.


Beribadah Bersama Orang-orang dengan Disabilitas Memanggil Kita pada Pemahaman yang Baru akan Perjamuan Kudus

Perayaan perjamuan kudus adalah sebuah tindakan peringatan; kita mengingat siapa Kristus dan siapa kita–komunitas orang percaya. Dalam pidatonya pada “Merging Two Worlds Conference” di tahun 1987, Parker Palmer mengajar saya bahwa lawan dari “mengingat” bukanlah “melupakan,” tetapi “mengoyakkan”–memisahkan diri dari kemanusiaan. Kita hidup dalam dunia yang mengoyakkan, yang memisahkan orang-orang ke dalam berbagai kategori (terbelakang, sakit mental, pecandu alkohol, gay). Dalam lingkungan dan dalam gereja, memberi label demikian sama dengan melakukan kekerasan pada komunitas, menciptakan jarak antara orang-orang. Betapa sedihnya mengetahui bahwa kita lebih mahir mencerai berai daripada menyatukan.


Salah satu hal yang terjadi pada perjamuan kudus adalah kita mengingat (“re-member”, kembali menjadi bagian) siapa kita–satu tubuh yang terdiri dari banyak anggota. Harold Wylie mengajar saya dan jemaat gereja lainnya sebuah pelajaran berharga tentang mengingat, atau kembali menjadi bagian, bahwa kita satu di dalam Roh Kudus–kita semua, apapun disabilitas kita. Ia juga mengajar kami hal-hal penting tentang perjamuan kudus.

Satu kebenaran yang mendalam tentang perjamuan kudus adalah di dalamnya kita mengalami kesatuan dengan Kristus dan kesatuan dengan satu sama lain. Perjamuan ini adalah perjamuan bagi para orang kudus dan juga perjamuan dari para orang kudus. Ritual sakramen menyatukan kita pada Yesus Kristus dan menyatukan semua umat dengan dan tanpa disabilitas.


Orang-orang dengan Disabilitas Dipanggil untuk Melayani

Sama seperti Allah memanggil Musa untuk memimpin walaupun ia memiliki masalah wicara dan Allah memanggil Rasul Paulus untuk bersaksi sekalipun “duri” dalam dirinya, orang-orang dengan disabilitas zaman ini juga dipanggil untuk melayani para TAB (Temporarily Able Bodied) atau orang-orang yang suatu saat mungkin akan menghadapi disabilitas dalam hidupnya. Tak heran, beberapa dari kita terpikir adanya pendeta yang buta, atau yang memiliki cerebral palsy, atau yang menggunakan kursi roda.


Kenyataan bahwa Allah memanggil semua kelompok manusia untuk pelayanan penuh waktu memiliki banyak implikasi untuk seminari-seminari dan bagi desain arsitektur dari gereja-gereja, khususnya area mimbar. Namun, hal-hal ini tidak akan dibahas dalam artikel ini. Poinnya adalah Allah memanggil orang-orang yang kurang sempurna untuk melayani–kejutan!


Allah memanggil orang-orang awam dengan disabilitas untuk melayani kita dan melayani bersama kita juga. Saya ingin membagikan sebuah contoh yang diambil dari buku kumpulan puisi yang luar biasa dari penyair Belanda, Lize Stilma (Portraits, 1985, pp. 75-76):


Hanya Sementara

Paskah.

Bersama, semua bunga merayakan.

Dan jemaat merayakan juga.

Grace juga ada di sana.

Bersama dengan para kaum muda ia mempersembahkan bunga kepada anak-anak muda yang menerima Konfirmasi.

Tanpa takut ia maju ke depan dan berkata, “Terimalah. Tahun lalu aku menerimanya. Aku menyukainya.”

Ia mengulanginya dua puluh dua kali.

Dan lengannya telah kosong.

Paskah.

Sebuah perayaan.

Ia tahu persis hal itu. Yesus mati, tetapi Dia hidup.

Karena itu semua orang bersukacita.

Apakah aku bersukacita?

Jawaban positifku jelas tidak meyakinkannya.

Apakah aku sungguh tahu makna Paskah?

Haruskah ia menjelaskannya padaku?

Ada hal-hal dalam hidup yang hanya dapat dituturkan dengan suara yang lembut.

Sangat dekat dengan pribadi yang akan menerima kata-kata itu.

Jelas sekali penjelasan ini salah satu hal penting itu.

Ia berdiri tegak, merangkulkan lengannya di sekitar leherku dan berkata,

“Saat kamu mati kamu akan ada dalam sebuah peti.

Lalu orang-orang akan menguburmu dalam tanah.

Tapi itu bukan hal buruk. Itu hanya untuk sementara.

Allah akan membawamu keluar.

Apakah kamu tahu hal itu?”

Ya, aku tahu hal itu.

Namun, aku makin yakin.

Petang itu aku berjalan menyusuri pemakaman.

Seseorang dimakamkan di sana seminggu yang lalu.

Seseorang yang sangat kukasihi.

Dalam sebuah peti.

Dalam pasir yang menimbunnya.

Pada kuburan itu dan pada diriku sendiri aku berkata,

“Itu hanya untuk sementara.

Allah akan membawamu keluar.”

Kata-kata itu diletakkan dalam mulutku oleh seorang gadis kecil penderita Down syndrome.

Dengan amat lembut.

Namanya Grace.

Dan itu berarti “nabiah”!



Beberapa Kebijakan dan Praktik yang Baik untuk Melibatkan Orang-orang dengan Disabilitas

Hari ini, belum pernah terjadinya sebelumnya, pintu-pintu banyak gereja terbuka bagi orang-orang yang memiliki berbagai disabilitas. Beberapa perubahan dan keputusan yang diambil sering kali terjadi setelah pintu-pintu itu terbuka, membuka banyak kemungkinan bagi orang-orang dengan disabilitas untuk menjadi anggota jemaat yang berpartisipasi penuh dan aktif dalam komunitas para penyembah.

  • Gereja yang inklusif membuat ruang ibadah mereka mudah diakses.

Pertama, mereka harus dapat masuk ke dalam ruang ibadah. Gereja-gereja yang menunggu melakukan perubahan hingga seseorang dengan disabilitas bergabung menjadi jemaat kemungkinan besar tidak akan menarik orang-orang seperti demikian untuk masuk. Modifikasi ruang parkir, penyesuaian trotoar, jalur kursi roda, dan elevator mungkin sangat diperlukan.


Di dalam gereja juga perlu dilakukan beberapa perubahan–perlu perubahan yang menyingkirkan berbagai penghalang pandangan, suara, dan pemahaman. Modifikasi interior mungkin termasuk ketersediaan braille dan warta jemaat dengan ukuran huruf yang besar, peralatan amplifikasi suara, penerjemah bahasa isyarat, dan ruang di bangku jemaat untuk pengguna kursi roda.


Jemaat yang percaya pentingnya keterlibatan orang-orang dengan disabilitas akan melakukan asesmen penghalang dan mencari cara untuk menyingkirkan penghalang ini. Ada banyak sumber daya yang tersedia. Contohnya, the Christian Reformed Church’s Committee on Disability Concerns memiliki daftar hal-hal terkait aksesibilitas bagi gereja dan menawarkan konsultasi desain arsitektur.


  • Gereja yang inklusif berhati-hati dengan bahasa.

Berbagai organisasi advokasi diri (mengacu pada kelompok yang menolong penyandang disabiltas untuk berani mengomunikasikan suara mereka), seperti People First International, meminta untuk menghindari pemakaian kata benda dan kata sifat seperti “si buta” atau “terbelakang secara mental”. Alih-alih, sang pribadi haruslah menjadi fokus, seperti “orang-orang yang memiliki kesulitan mendengar” atau “orang-orang dengan retardasi mental.” Selain itu, penggunaan nama kecil yang terkesan merendahkan seperti “Tommy” atau “Kenny” sebaiknya dihindari ketika bicara dengan orang dewasa; dan, pada pertemuan formal setidaknya disematkan panggilan Bapak, Ibu, atau Saudara di depan nama.


Bahasa dan gambaran yang merujuk pada kecacatan juga muncul dalam beberapa musik di gereja kita. Pertimbangkan kembali metafora dalam syair lagu “Just as I Am, without One Plea”:


Sebagaimana adaku celaka, buta dan kelu;

segala apa yang perlu ‘ku dapat dalam diri-Mu.

(“Meski Tak Layak Diriku”, terjemahan Yamuger, 1983)


Penggambaran yang serupa dari kemiskinan fisik dan spiritual juga muncul dalam himne “Amazing Grace”; dan, tentu saja, hal ini ditemukan dalam Kitab Suci. Namun, Govig (1989, p. 83) dengan segenap hati memaparkan:


Apakah harus mengasosiasikan kemiskinan dan celaka dengan kebutaan? Banyak dari kita mengenal seseorang yang buta dan juga sangat miskin atau malang hidupnya! Bagaimana dengan menggunakan kata “keegoisan” atau “bebal hati” sebagai ganti kebutaan? Pemulihan pikiran memang kita rindukan, tetapi kita lebih membutuhkan pengampunan dosa.


Kita harus peka menggunakan bahasa. Ini bukan hanya menyangkut keseimbangan dalam perspektif, tetapi sangat terkait dengan keadilan. Dengan kata-kata kita dapat memperlebar jarak atau menjembatani jarak; kita merangkul atau kita menghalau.

Memang benar terkadang orang-orang dengan disabilitas butuh untuk dilindungi, tetapi di manakah keadilan ketika kita gagal menggunakan bahasa yang mempercakapkan karunia-karunia mereka? Cara kita bicara tentang orang-orang merefleksikan bagaimana kita memandang mereka dan membentuk interaksi kita dengan mereka.


  • Gereja yang inklusif menggunakan lingkungan khusus hanya ketika tidak ada lagi pilihan

Kebanyakan orang-orang dengan disabilitas dapat berpartisipasi dalam kegiatan ibadah seperti biasanya, dalam lingkungan yang sama dengan jemaat yang lain. Ketika orang-orang dengan disabilitas dikelompokkan bersama dalam sebuah lingkungan yang terpisah untuk beribadah, semua orang mengalami kekalahan. Jika seorang dengan disabilitas tidak dapat melakukan semua bagian dalam kegiatan ibadah, alangkah lebih baik ketika kita menyediakan bantuan daripada menyediakan lingkungan yang terpisah.


Sebuah Kutipan

KITA SALING MEMBUTUHKAN

1 Korintus 12:12-27, sebuah parafrase

Karena sama seperti tubuh itu satu dan memiliki bermacam-macam anggota, dan semua anggota tubuh itu, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh–baik yang sehat, yang berhikmat, yang dengan disabilitas, maupun yang lambat belajar–dan semua diberi minum dari satu Roh.


Karena gereja tidak terdiri dari satu macam anggota, tetapi atas banyak anggota. Andaikan orang yang menggunakan kursi roda berkata, “Karena aku tidak dapat berjalan, aku tidak mau bergabung dengan gereja yang tidak memiliki jalur untuk kursi roda,” hal itu tidak membuatnya kurang bermakna sebagai bagian dari tubuh. Dan andaikata seorang dengan Down syndrome merasa bahwa, karena ia tidak cocok mengikuti program pembinaan gereja, maka ia tidak dapat bergabung dengan gereja, hal ini tidak membuatnya kurang bermakna sebagai bagian dari tubuh.


Andaikata seluruh anggota gereja adalah guru, di manakah para pembelajar? Andaikata seluruhnya sukses dan kaya, di mana tempat bagi mereka yang miskin? Tetapi Allah telah mengatur berbagai macam orang di dalam gereja, setiap mereka, seperti yang Ia tentukan. Andaikata semuanya sejenis saja, di manakah gereja yang sebenarnya?


Memang ada bermacam-macam orang dibutuhkan, tetapi hanya satu gereja. Orang-orang yang mampu membaca pengakuan iman tidak dapat berkata kepada mereka yang tidak dapat membaca, “Kami tidak membutuhkan kalian.” Dan orang-orang yang stabil secara emosional tidak dapat berkata kepada mereka yang bergumul secara emosional, “Aku tidak membutuhkan engkau.” Malahan justru orang-orang yang kelihatan paling lemat di gereja adalah yang paling dibutuhkan. Dan orang-orang dengan disabilitas, dengan cara tertentu, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap orang-orang yang kurang elok kita berikan perhatian khusus, yang tidak dibutuhkan oleh orang-orang yang berpenampilan menarik. Allah telah menyusun gereja kita begitu rupa, untuk memberikan penghormatan yang lebih besar kepada mereka yang menyandang disabilitas, supaya jangan terjadi perpecahan di dalam jemaat, dan supaya setiap anggota jemaat saling memperhatikan satu sama lain.


Karena jika satu anggota jemaat menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota jemaat dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya!


--

Thomas B. Hoeksema adalah profesor pendidikan di Calvin College dan anggota dari tim perencana ibadah di Grace Christian Reformed Church, Grand Rapids, Michigan.



81 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page