top of page
  • Writer's pictureWOW Ministry

UNTUK DILIHAT DAN UNTUK DIDENGAR: ALASAN ANAK-ANAK PUNYA TEMPAT DALAM IBADAH

ROBERT C. DEVRIES


Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)



Baru-baru ini saya beribadah di sebuah gereja kecil di selatan Perancis. Walaupun saya tidak paham satu pun kata dari ibadah itu (saya tidak bisa berbahasa Perancis), saya tahu sedang berada bersama keluarga Allah. Saya menulis di dalam jurnal pribadi: “Anak-anak berlarian melintasi area mimbar dengan penuh semangat untuk bergabung bersama keluarga mereka… Para penyembah yang penuh potensi, muda dan tua, saling menyapa dengan ciuman di pipi. Sekelompok anak-anak muda di balkon mencari melodi dengan instrumen gesek dan tiup di tangan mereka. Tiba-tiba, dari barisan di depan, seorang laki-laki berdiri dan mengucapkan kata-kata yang saya pikir bermakna “Dalam nama Allah Bapa, dan Allah Putra, dan Roh Kudus, kita berkumpul untuk beribadah – Amin.” Ibadah pun dimulai.


Dalam gereja Perancis yang kecil ini, juga di berbagai belahan dunia lainnya, keluarga Allah berkumpul. Orang-orang dari berbagai usia hadir, saling berhimpun dan rindu menjadi bagian dari ibadah.



ACARA KELUARGA


Memang demikian adanya. Ibadah adalah sebuah acara untuk seluruh anggota keluarga Allah – termasuk anak-anak. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengajarkan bahwa anak-anak haruslah menjadi peserta aktif dalam ibadah. Tidak ada ruang bayi. Tidak ada ibadah anak-anak.


Saya tidak sedang menyiratkan bahwa gereja harus menyingkirkan pelayanan ibadah khusus untuk anak-anak. Bidang pelayanan ini sangatlah penting, menggabungkan tindakan ibadah dengan upaya untuk memupuk iman dalam kehidupan anak-anak. Tetapi, bahkan gereja yang memiliki program seperti ini biasanya mengakui pentingnya melibatkan anak-anak dalam ibadah umum, bersama dengan para orang dewasa.


Istri saya dibesarkan di sebuah jemaat di pedesaan. Mereka tidak pernah memiliki ruang bayi – bahkan sampai saat ini. Bayi-bayi kecil, anak-anak balita yang gaduh, dan anak-anak yang lebih besar dengan rasa ingin tahu yang tinggi duduk di bangku-bangku ruang ibadah. Dan semua ini bukan hanya soal uang atau sumber daya. Bahkan jika mereka memiliki sumber daya finansial dan orang-orang untuk memimpin program ibadah khusus untuk anak-anak, jemaat ini menginginkan anak-anak berada di ruang ibadah. Mereka adalah keluarga. Mereka punya tempat di meja Allah bersama dengan anak-anak Allah yang lain.



MELIBATKAN ANAK-ANAK DALAM IBADAH


Dalam publikasinya Sharing Faith with Children, Sara Covin Juengst menuliskan bagaimana anak-anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah ibadah. Subjudul buku itu (“Rethinking the Children’s Sermon”) mungkin akan membuat Anda berpikir bahwa dia sedang membahas isu seputar khotbah untuk anak-anak. Tetapi, buku itu sebenarnya membahas banyak cara untuk melibatkan anak-anak dalam sebuah ibadah.


Juengst juga menggali kebutuhan personal, sosial, moral, dan iman dari anak-anak. Ia mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah pribadi visual (dan kurang verbal), cenderung egosentris (dan kurang komunal), dan afektif (dan kurang konseptual). Sebenarnya, setiap orang yang menyaksikan orang dewasa ketika khotbah untuk anak-anak disampaikan akan dengan cepat mengenali bahwa para orang dewasa ini memiliki karateristik yang sama! Menekankan aspek visual, sensori, dan emosi dalam ibadah akan menjawab kebutuhan untuk setiap penyembah, berapa pun usia mereka.


Mari berpikir sejenak tentang kodrat ibadah, dan bagaimana anak-anak dapat dilibatkan dalam kegiatan intergenerasional ini.



Ibadah adalah perhimpunan semua umat Allah.


Gereja Kristen sangatlah serius memikirkan inklusivitas – bagi perempuan, bagi kaum minoritas, bagi orang-orang dengan disabilitas. Kita mengakui tantangan ibadah inklusif bagi orang-orang yang tidak diwakili dalam ibadah dengan seharusnya.


Apakah hal ini berlaku bagi anak-anak juga? Inklusi dalam hal ini bukan hanya hadir di ruang ibadah, duduk rapi dan tenang di bawah pengawasan ibu mereka. Anak-anak dari segala usia haruslah terlihat. Mereka harus terlihat dan terdengar. Kehadiran mereka haruslah dapat dirasakan.


Hal ini dapat terjadi dengan berbagai cara. Anak-anak dapat bergabung dengan kelompok kecil dari penyanyi yang memimpin nyanyian jemaat. Mereka dapat memainkan alat musik bersama dengan para pemusik yang lebih berpengalaman. Fokus ibadah kita adalah: anak-anak tidak boleh “dipamerkan” secara berlebihan daripada orang dewasa. Tetapi, anak-anak dapat dan harus menjadi peserta aktif dalam ibadah.



Ibadah adalah percakapan antara Allah dan umat Allah.


Allah berfirman; umat merespons. Tetapi apakah Allah hanya berfirman kepada orang dewasa? Apakah orang dewasa satu-satunya yang diundang untuk memberi respons?


Sebagai tambahan dari interaksi yang terjadi pada saat “khotbah anak-anak”, yang dilakukan di banyak gereja, para hamba Tuhan dapat melakukan percakapan dengan anak-anak di berbagai bagian dari ibadah. Seorang hamba Tuhan sesekali mengundang beberapa anak yang duduk di kelas 4 atau 5 SD untuk bergabung dengannya di mimbar pada beberapa bagian ibadah. Ia menjelaskan secara singkat, contohnya, apa maksud salam dan kemudian mengundang anak-anak untuk berdiri bersamanya ketika ia mengucapkannya kepada para jemaat.



Ibadah adalah tindakan pengakuan dosa dan rekonsiliasi.


Kita adalah orang-orang yang berdosa dan rusak. Relasi kita dengan Allah dan sesama perlu diperbaiki. Karena anak-anak juga harus belajar kebutuhan untuk – dan seni – rekonsiliasi, mereka harus berpartisipasi dalam tindakan korporat dalam pengakuan dosa dan rekonsiliasi.


Satu cara yang dapat dilakukan jemaat untuk menekankan aspek ibadah ini adalah dengan meminta para jemaat, anak-anak dan orang dewasa, untuk menulis di secarik kertas perilaku-perilaku atau acara spesifik di mana mereka butuh diampuni. Para jemaat kemudian berjalan melewati meja perjamuan, menaruh kertas-kertas itu. Dengan cara ini, anak-anak dan orang dewasa bersama berpartisipasi dalam tindakan yang melambangkan pengampunan dan kasih karunia Allah.



Ibadah adalah perayaan.


Gereja merayakan kasih karunia dan kehebatan Allah dalam berbagai cara. Sering kali, perayaan ini berfokus pada sakramen. Salah satu dosen saya percaya bahwa gereja Protestan tidak pernah mengembangkan kemampuan untuk terlibat dalam “festival”. Ia ingin melihat sebuah parade.


Bagaimana bentuk parade ini? Mungkin setelah sakramen baptisan dari seorang bayi, para jemaat dapat melakukan parade mengelilingi lingkungan tempat gereja berada. Dipimpin oleh seorang peniup terompet yang alat musiknya juga dipasangi bendera, hamba Tuhan dan keluarga itu dapat berjalan keluar dari gereja dengan anak-anak dan jemaat yang lain dalam parade, mewartakan kepada komunitas bahwa satu anak lagi telah menerima perjanjian dengan Allah.


Hal ini terdengar ekstrem, tetapi kita perlu merayakan. Kita harus belajar untuk berpesta di hadapan Allah, seperti sang ayah yang berpesta ketika anak bungsunya yang hilang kembali dengan hati penuh pertobatan dan pengharapan.



Ibadah adalah memberi dan menerima.


Persembahan adalah salah satu elemen dalam ibadah di mana tindakan memberi paling jelas ditunjukkan. Menerima diwakili oleh pernyataan berkat di akhir ibadah. Mengapa tidak menyediakan cara istimewa agar anak-anak dapat membawa persembahan mereka kepada Tuhan? Ketika kantong persembahan diedarkan pada orang dewasa, undanglah anak-anak di tempat tertentu (mungkin di kolam baptisan) untuk meletakkan persembahan mereka di hadapan Tuhan.


Dan kemudian, ketika pernyataan berkat disampaikan, sang hamba Tuhan dapat memanggil anak-anak mendekat ketika ia memberkati jemaat, sama seperti Tuhan kita memanggil anak-anak mendekat dalam lingkaran para murid-Nya.



PANDUAN BERIBADAH DENGAN ANAK-ANAK


Daftar cara melibatkan anak-anak dalam ibadah dapat terus ditambahkan. Contohnya, anak-anak dapat dilibatkan dalam perayaan Perjamuan Kudus atau pelaksanaan baptisan. Perhatikan beberapa panduan berikut:


  • Anak-anak merespons pada hal-hal visual lebih cepat daripada yang verbal. Gunakan warna-warna yang tegas dan berbagai visual lain untuk menunjukkan berbagai aspek ibadah.

  • Anak-anak secara natural memiliki rasa kagum dan takjub. Mereka dapat merespons pada keagungan dan misteri Allah lebih baik dari orang dewasa.

  • Anak-anak cenderung egosentris, mereka berpikir dunia berputar mengelilingi mereka. Mereka perlu melihat dan merasakan bahwa mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah.

  • Anak-anak sangat aktif. Ibadah haruslah melibatkan seluruh tubuh: berlutut, mengangkat tangan, menggunakan bahasa isyarat atau gerakan pada lagu dan bergerak untuk merespons pada berbagai aspek ibadah.

  • Anak-anak membutuhkan teladan atau mentor. Mereka belajar dengan menirukan orang dewasa. Bahkan jika banyak bagian ibadah yang melampaui pemahaman kognitif mereka, mereka akan mengadopsi hal-hal yang selalu dilakukan karena orang-orang dewasa yang penting dalam hidup mereka berperilaku demikian. John Westerhoff III mengatakan, “Jika anak-anak kita diharapkan memiliki iman, mereka harus beribadah bersama kita.”

188 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page