Philip Ruston
Sumber: prushton.wordpress.com
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Pernahkah Anda diganggu oleh seseorang saat Anda sedang menonton adegan puncak dari sebuah film? Ini bisa membuat Anda sangat kesal. Anda menunggu sekian lama untuk sampai pada adegan puncak ini. Anda sudah melewati pelbagai kejutan dan perubahan dari ceritanya dan Anda juga sudah begitu terlibat secara emosional dengan tokoh di dalamnya. Ketika adegan puncak tiba, Anda bisa merasakan suatu kelegaan dan kesukacitaan. Akan tetapi, meskipun Anda bisa meneteskan air mata karena adegan puncak itu, orang yang terlambat datang hanya bisa melihat film itu dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu apa saja yang terjadi menuju puncak sehingga cerita film itu seperti tidak ada arti sama sekali baginya.
Tatapan kosong tersebut seringkali disertai dengan komentar yang tidak pas dan hanya mengganggu jalannya film. Entah komentarnya yang merendahkan penghayatan emosional kita, “Ah, ini sih lebay!” Atau, “Kok bisa sih menonton film seperti ini?” Bisa juga, orang yang telat masuk bioskop itu malah memberondong kita dengan aneka pertanyaan tentang detail film supaya dia bisa memahami jalan ceritanya. Apapun itu, orang yang terlambat tersebut kehilangan dampak kuat dari klimaks film karena mereka tidak mengikuti ceritanya dari awal.
Menurut saya, ilustrasi ini menjelaskan mengapa masa Adven itu penting. Bila kita ingin mengalami dampak kuat dari Natal maka kita harus mengikuti jalan ceritanya sejak awal. Dalam rangka supaya kita memahami pengharapan akbar dari kedatangan Sang Juruselamat maka kita perlu memulainya dari mengenali kebutuhan kita akan keselamatan. Inilah yang dibukakan oleh Adven. Inilah masa di mana kita mengulangi kisah Alkitab yang menyingkapkan betapa banyak orang hidup tanpa pengharapan. Kita membaca teks Alkitab sambil mengantisipasi Sang Terang yang masuk ke dalam kegelapan. Kita membaca teks Alkitab yang mengingatkan kerapuhan kita sehingga kita bisa menerima Allah yang mengunjungi kita.
Masalahnya, kita seringkali tidak peduli dengan kisahnya secara utuh. Kita hanya menyukai ujungnya. Kita tidak sabar menunggu bagian-bagian sebelumnya yang terasa menggantung dan mengganggu. Kisah tentang umat manusia memang tidak selalu mudah untuk dilihat, apalagi dihidupi. Seringkali banyak peristiwa buruk yang mewarnainya dan kita ingin buru-buru meloncatinya. Alhasil, kita menjalani Adven dengan cara yang salah. Kita malah berpaling pada berhala-berhala yang kita kira bisa menolong kita untuk meringankan beban menyakitkan dari kisah kehidupan kita. Kita coba mengisi kekosongan diri kita dengan makanan, hadiah Natal dan tradisi yang membuat kita bisa bernostalgia.
Akan tetapi, sesungguhnya ada sesuatu yang sangat agung tersimpan bagi kita bila kita bersedia memasuki babak-babak yang penuh kekalahan, kegelapan dan kekacauan dalam perjalanan hidup manusia. Hanya dengan menyadari semuanya ini, kita baru bisa menghargai Natal. Doa saya, kiranya kita tidak seperti pengunjung bioskop yang terlambat tadi. Kita mengikuti ibadah Natal dengan tatapan kosong. Sebaliknya, marilah kita dengan penuh keberanian memasuki seluruh kisah secara utuh sehingga kita bisa siap menerima pengharapan akan kedatangan Penebus kita.
Thomas Merton merangkum dengan sangat baik dalam tulisannya, “Ke dalam dunia ini, dalam tempat tinggal yang rusak ini, di mana tidak ada kamar sama sekali bagi Dia, Kristus datang tanpa diundang. Namun, memang demikian yang harus Dia alami. Dia memang harus merasa ditolak karena Dia memang tidak berasal dari dunia ini. Dan Dia bisa bersama dengan mereka yang juga tidak mendapatkan tempat. Dia harus berada di sisi mereka yang terasingkan, mereka yang ditolak oleh para penguasa karena dianggap lemah, mereka yang diremehkan, mereka yang disangkali keberhargaan dirinya, yang dianiaya dan yang disingkirkan. Dengan merekalah yang tidak punya tempat di dunia, Kristus hadir di tengah-tengahnya.”
Comments